Belajar Pada Jin

J
in, Setan, Iblis, Hantu, Jurig, Genderewo, Dedemit dan cs-cs-nya adalah sederet nama-nama yang melekat dalam pikiran kita sebagai makhluk halus, gaib, astral, metafisik dan khayali. Tak sedikit Kita merasa takut pada sesuatu yang berlabelkan “Jurig.” Hingga akhirnya menjadi inggis bila pergi ke WC, melewati kuburan, dan berjalan di tempat sepi nan gelap. Berbagai tayangan di tipi telah berhasil mencekoki pemahaman Kita, memerkosa akal pikiran kita, dan merenggut “keperawanan” mindset otak Kita. Betapa tidak, mungkin hanya satu-satunya di Indonesia saja setan itu dikejar-kejar, ditangkap bahkan di-kepo-in sedemikian rupa. Ditanya siapa namanya, di mana asalnya, matinya di mana, apa penyebabnya, dan kapan terjadinya. Mungkin di lain kesempatan si setan itu akan di-kepo-in hingga ke urusan pribadinya, sudah pernah pacaran atau belum, punya mantan berapa, sekarang sedang sendiri atau engga, dan kapan mau move on. Okeh, hello, loe pasti illfeel dengernya, hanya satu-satunya di Indonesia saja setan itu curhat dan narsis di tipi.

               Sesuatu yang bersifat metafisik adalah sesuatu yang sangat senang digandrungi oleh semua kalangan, baik itu anak-anak sampai dewasa, laki-laki maupun perempuan. Bagi yang masih ingat mungkin tayangan tentang pemburu “Uka-uka” pasti akan tertawa ketika melihat ada seorang pemburu yang menangkap setan dan lalu memasukkan setan tersebut ke dalam botol marjan. Kenapa ga sekalian aja si setan dimasukkan juga ke dalam kaleng Kong Ghuan? Biar nanti sama-sama bisa dinikmati di hari kemenangan.

               Sudahlah. Tak akan ada habisnya membahas tentang hal-hal yang berbau khayali, metafisik dan tidak dapat terindra oleh kita. Yang jelas, segala sesuatu yang bersifat gaib itu pada hakekatnya adalah rahasia yang sengaja disembunyikan oleh Allah.

عَالِمُ الْغَيْبِ فَلا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًاإِلا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا

               Yang Mengetahui yang gaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorang pun tentang yang gaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan di belakangnya. [Q.S. al-Jinn : 27-28].

               Dari sekian nama-nama jurig yang menjadi nominasi dalam pembahasan kali ini, ada satu nama yang terpilih, yaitu; Jin. Berbicara mengenai Jin, kiranya kurang afdhal bila tidak dibahas dan ditinjau dari aspek etimologis definitif-nya terlebih dahulu.

               Ar-Raaghib al-Ashfahaaniy di dalam kitab monumentalnya, Mu’jamu Mufradaati Alfaazh al-Quran[1], menyebutkan bahwa asal kata Jin itu ialah janna yang memiliki arti menutup sesuatu dari indra. Diungkapkan “Jannahu al-lailu” yang berarti malam telah menutupinya. Allah ta’ala befirman; Maka tatkala malam telah menutupinya kemudian ia melihat bintang ... (Q.S. al-An’aam : 76). Dan kata Janaan memiliki arti hati karena keberadaannya yang tertutup dari indra. Kemudian ada kata Junnah yang berarti perisai, seperti sabda Nabi shalla-Llahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi, “Shaum itu perisai.” Selanjutnya kata Jannah memiliki arti kebun yang mempunyai pohon-pohon yang dapat menutupi tanah. Lalu kata Jannah yang berarti surgapun diserupakan dengan kebun karena menyerupai dengan apa yang di bumi, atau bisa karena keadaannya yang menutup kenikmatan-kenikmatan yang ada di dalamnya. Senada dengan itu, Allah ta’ala berfirman; “Maka tidak ada satu jiwa pun mengetahui sesuatu yang tersembunyi untuk mereka berupa penyejuk mata.” (Q.S. as-Sajdah : 17). Sedangkan kata Janin merujuk pada seorang anak yang ada di dalam perut ibunya. Nah adapun Jin (yang menjadi pembahasan Kita sekarang, pent.) itu terbagi kepada dua aspek; pertama bisa berkonotasi pada ruh-ruh yang tersembunyi dari panca indra yang dimiliki manusia. Maka berdasar pemahaman ini setan dan malaikatpun adalah Jin, namun tidak setiap Jin adalah malaikat ataupun setan. Pada hakikatnya ruh itu terbagi kepada tiga; yang terbaik ialah malaikat, yang terburuk ialah setan dan yang pertengahan ialah Jin. Dan hal ini ditunjukkan oleh firman Allah ta’ala; “Dan sungguh di antara kami (bangsa Jin) ada yang muslim dan ada pula yang muqsith.” (Q.S. al-Jinn : 14).

Maka dari itu, jangan sampai keliru lagi dalam mendefinisikan tentang Jin, jangan sampai Janaan pun diartikan sebagai Jin. Keliru dalam memberi arti maka akan keliru pula dalam memahami. Baiklah sekarang Kita mulai untuk belajar pada Jin.

تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا
             
  Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqaan (Al Qur'an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam [Q.S. al-Furqaan : 1].

               Jalaaluddin al-Mahalli di dalam tafsirnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan semesta alam ini ialah manusia dan jin.[2] Artinya, al-Quran pun secara implisit maupun eksplisit ditujukan pula kepada Jin. Jadi, secara otomatis Jin pun adalah umat Nabi Muhammad shalla-Llahu ‘alaihi wa sallam yang sama-sama beriman kepada Allah. Dan tidak menutup kemungkina pula bahwa Jin lebih paham al-Quran ketimbang Kita.

               Pernah ada sebuah tanya menggelitik dari seorang teman yang bertanya, “Ceuk énté jin-na Einsten aya kénéh teu?” “Nya boroning Einsten, Jin anu aya jaman Nabi Adam gé aya kénéh.” Ini menunjukkan bahwa mungkin saja peradaban Jin sudah lebih maju ketimbang Kita sebagai manusia. Ya, bayangkan saja ada berapa juta ilmuwan dari golongan Jin yang masih tetap hidup untuk membangun peradaban mereka. Hal itu dapat diperkirakan dengan hidup mereka yang masa aktifnya sampai hari kiamat. Tentu mereka lebih berpengalaman dengan Kita. Kesimpulannya, mereka secara tidak langsung adalah kakak Kita yang sudah ribuan tahun lebih dulu hidup dari Kita. Maka sudah sepantasnya, Kita belajar pada Jin.

وَإِذْ صَرَفْنَا إِلَيْكَ نَفَرًا مِنَ الْجِنِّ يَسْتَمِعُونَ الْقُرْآنَ فَلَمَّا حَضَرُوهُ قَالُوا أَنْصِتُوا فَلَمَّا قُضِيَ وَلَّوْا إِلَى قَوْمِهِمْ مُنْذِرِينَ قَالُوا يَا قَوْمَنَا إِنَّا سَمِعْنَا كِتَابًا أُنْزِلَ مِنْ بَعْدِ مُوسَى مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ يَهْدِي إِلَى الْحَقِّ وَإِلَى طَرِيقٍ مُسْتَقِيمٍ يَا قَوْمَنَا أَجِيبُوا دَاعِيَ اللَّهِ وَآمِنُوا بِهِ يَغْفِرْ لَكُمْ مِنْ ذُنُوبِكُمْ وَيُجِرْكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ وَمَنْ لا يُجِبْ دَاعِيَ اللَّهِ فَلَيْسَ بِمُعْجِزٍ فِي الأرْضِ وَلَيْسَ لَهُ مِنْ دُونِهِ أَولِيَاءُ أُولَئِكَ فِي ضَلالٍ مُبِينٍ

               Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Al Qur'an, maka tatkala mereka menghadiri pembacaan (nya) lalu mereka berkata: "Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)". Ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan. Mereka berkata: "Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (Al Qur'an) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus. Hai kaum kami, terimalah (seruan) orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari azab yang pedih. Dan orang yang tidak menerima (seruan) orang yang menyeru kepada Allah maka dia tidak akan melepaskan diri dari azab Allah di muka bumi dan tidak ada baginya pelindung selain Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata". [Q.S. al-Ahqaaf : 29-32].

               Al-‘Imaad Ibnu Katsier[3] mengutarakan perihal ayat ini bahwa tatkala sekelompok Jin –dalam sebuah riwayat disebutkan 9- pergi berkeliling ke setiap penjuru bumi untuk mencari tahu apa yang menghalangi mereka dari mencuri berita dari langit. Maka ketika tiba di sebuah lembah, mereka melihat seorang Rasul yang sedang membaca al-Quran. Tatkala mereka mendengar bacaan Rasulullah shalla-Llahu ‘alaihi wa sallam, mereka pun menyuruh satu sama lain untuk diam dan mendengarkannya. Terkesima dengan lantunan al-Quran, maka Allah pun menurunkan ayat :

قُلْ أُوحِيَ إِلَيَّ أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِنَ الْجِنِّ فَقَالُوا إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا يَهْدِي إِلَى الرُّشْدِ فَآمَنَّا بِهِ وَلَنْ نُشْرِكَ بِرَبِّنَا أَحَدًا

               Katakanlah (hai Muhammad): "Telah diwahyukan kepadaku bahwasanya: sekumpulan jin telah mendengarkan (Al Qur'an), lalu mereka berkata: "Sesungguhnya kami telah mendengarkan Al Qur'an yang menakjubkan, (yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seorang pun dengan Tuhan kami. [Q.S. al-Jinn : 1-2].

               Setelah itu merekapun kembali ke kaumnya memberi peringatan bahwa telah turun wahyu dari Allah kepada seorang Nabi, sebagaimana turunnya wahyu kepada Nabi Musa ‘alaihi as-Salaam.

               Selanjutnya, Ibnu Katsier menegaskan bahwa di kalangan Jin tidak ada yang namanya rasul, yang ada hanyalah Nudzur (pemberi peringatan). Hal ini ditunjukkan oleh keumuman risalah Nabi shalla-Llahu ‘alaihi wa sallam yang berlaku untuk ast-tsaqlain, manusia dan jin. Karena sebagaimana manusia, jin pun ada yang mu’min dan ada pula yang kafir. Serta mereka pun sama-sama akan diberikan surga jika beriman kepada Allah dan akan diganjar dengan neraka bila mereka kufur kepada Allah.[4]

               Dari penjelasan yang telah disampaikan oleh Ibnu Katsier di atas, jelaslah bahwa kepedulian Jin terhadap umatnya sangatlah besar. Betapa tidak, tatkala mereka hendak mendengarkan al-Quran pun mereka menyuruh untuk diam dan menghayati bacaan al-Quran. Setelahnya mereka pun bergegas untuk menyampaikannya lagi kepada kaumnya dan memberi peringatan kepada mereka.

               Maka wajar, bila ada penafsiran tentang firman Allah ta’ala;

فَبِأَيِّ آلاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
               Maka, nikmat Rabb kalian (manusia dan jin) mana lagi yang akan kalian dustakan [Q.S. ar-Rahmaan]. Seketika itu pula para Jin menjawab, “Tidaklah sedikit pun nikmat-nikmat-Mu Kami mendustakannya, segala puji hanya milik-Mu.”[5] Jika didramatisasi, para Jin ketika mendengar ayat ini diulang-ulang, mereka terus menitikkan air mata, saking pahamnya terhadap apa yang mereka dengar.

               Dari hal-hal yang telah disebutkan di atas, Kita bisa belajar bahwa Jin itu ternyata peduli. Kita pun harus belajar tentang kepedulian, walau itu dengan jalan menakut-nakuti dan mengancam. Ingatlah sabda Nabi, Ballighuu ‘anniy wa law aayah. Sebagaimana terekam ajakan mereka kepada kaumnya;

يَا قَوْمَنَا أَجِيبُوا دَاعِيَ اللَّهِ وَآمِنُوا بِهِ يَغْفِرْ لَكُمْ مِنْ ذُنُوبِكُمْ وَيُجِرْكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ وَمَنْ لا يُجِبْ دَاعِيَ اللَّهِ فَلَيْسَ بِمُعْجِزٍ فِي الأرْضِ وَلَيْسَ لَهُ مِنْ دُونِهِ أَولِيَاءُ أُولَئِكَ فِي ضَلالٍ مُبِينٍ

               Hai kaum kami, terimalah (seruan) orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari azab yang pedih. Dan orang yang tidak menerima (seruan) orang yang menyeru kepada Allah maka dia tidak akan melepaskan diri dari azab Allah di muka bumi dan tidak ada baginya pelindung selain Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.

               Begitu keras sikap para Nudzur (pemberi peringatan) ini kepada kaumnya, dengan saklek mereka mengancam dengan adzab Allah dan neraka-Nya. Jika mungkin ditanya, mengapa mereka melakukan demikian. Pasti mereka akan menjawab;
               We Scare because We Care. Kami menakut-nakuti karena Kami peduli.
               Wa-Llahu a’lam.




[1] Mu’jamu Mufradaati Alfaazh al-Quran : 76
[2] Tafsier al-Jalalain: II/59
[3] Tafsier al-Quran al-‘Azhiem : VII/289-290.
[4] Ibid.
[5] Ibid. : 491
Share on Google Plus

Penulis : Unknown

Mari membaca artikel lainnya dibawah ini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment