Mengembalikan Piagam Jakarta

div class="clearfix" style="background-color: white; zoom: 1;">

Teringat saat Mu’allimien dulu, setiap hari ahad adalah harinya laa yamuutu walaa yahyaa(disebut sakola da tara aya guru, disebut libur da sakola). Dengan menggunakan Jupiter MX ber-knalpot bising (anu babatokna Mio), Viaduct adalah destinasi pelarian dari kelas kosong. Rel kereta api seolah lapak resmi khusus Sang Mantan Santri, hingga sampai sekarang. Singkat cerita, kami pulang membawa sebundel makalah yang akan dibagikan ke kelas. Sebagai bukti bahwa kami mabal untuk mencari ilmu.
sumber: www.jakarta.go.id
Benarlah sabda Rasulullah shalla-Llahu ‘alaihi wa sallam, “Liyuballigh as-Syaahid al-Ghaaib (Hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada yang absen).” Serta sabdanya pula, “Ballighuu ‘anniy walau Aayah (Sampaikanlah dariku meski satu ayat).” Hal inilah yang dapat membuat Islam tetap tegak sampai hari kiamat tiba. Bila Allah tiada mengancam orang yang menyembunyikan ilmu (Q.S. al-Baqarah : 159), kiranya Si Bapak Kucing pun akan bungkam seribu bahasa.
Mengambil sebuah contoh dari JIHAD (pengaJIan aHAD) pada tanggal 19 April 2015 dengan pengisi Prof. DR. K.H. D. Wildan Anas, M. HUM, ar-Raasikh Redaction ingin sama menyampaikan pada mereka yang absen. Meski, statusnya tidak mabal (heueuh puguh peré ayeuna mah). Tidak hanya sekedar mendokumentasikannya lewat foto kemudian di-upload, lalu membuat status “Olahraga Hati minggu pagi di Viaduct :) hamasah!” (saha tah nu sok kikituan?). Okeh kita tutup dulu prolognya, langsung pada isi materi dari buletin, “Mengembalikan Piagam Jakarta.”
Judul makalah sebenarnya, “Piagam Madinah”, namun al-Ustadz Dadan menyinggung pula “Piagam Jakarta.” Yang menurut beliau, umat Islam Indonesia telah berkorban banyak dalam kemerdekaan Indonesia. Korban nyawa dalam perang kemerdekaan memang sudah biasa. Namun, umat Islam Indonesia telah mengorbankan “jati diri” dengan rela 7 (tujuh) kata yang terdapat di dalam Piagam Jakarta dihapus, “Dengan Menjalankan Syariat Islam Bagi Pemeluk-pemeluknya.” Hingga tersisa hanya, “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang sekarang tidak jelas statusnya. Semua agama dan semua kepercayaan entah itu menggunakan konsep trimurti, trinitas ataupun triinwan mengaku ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Hingga makna tunggal ini malah menjadi plural, makna mono malah menjadi setereo.
Tak perlulah Barat mengajari umat Islam Indonesia mengenai makna Pluralisme, yang hanya menyesatkan umat. Toh, orang Indonesia sudah hidup “merdeka” dalam heterogenisme, pluralisme.
Daripada menganut faham plural yang berarti ibarat jari-jari roda, seperti yang dikatakan oleh Gus Dur, Cak Nur dan kawan-kawannya, lebih baik menganut faham plural yang berarti berbeda tapi tak sama. Bukan ingin bercanda, tapi itulah kenyataan ada orang-orang yang ingin memaksakan bahwa semua perbedaan itu memiliki kesamaan. Memang benar, setiap perbedaan itu memiliki kesamaan, sama-sama beda. Seperti yang disebutkan paragraf di atas, faham plural lebih cocok diartikan heterogen, bersatu tapi tidak berpadu. Ketika kami tidak mengucapkan “Selamat Ulang Tahun” bukan kami tidak menghargai, hanya tak mengamini.
بسم الله الرحمن الرحيم
قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ (1) لَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (2) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (3) وَلَا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ (4) وَلَا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (5) لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (6)
Katakanlah: "Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku". [Q.S. al-Kaafiruun].
Biasanya faham pluralis akan berboncengan dengan liberalis hingga sekularis –pasti sapakét (Sipilis téa), seperti yang telah dibahas pada Tak Hanya TBC. Untuk feminis, sudah sedari awal dibahas terlebih dahulu (edisi 5 & 10).
Liberalisme biasanya dijadikan tameng untuk meredam gerakan dakwah. Mereka mengatakan, “Ga usah ngatur-ngatur orang lain, semua orang punya kebebasan masing-masing.” Tapi anehnya ketika MUI menfatwakan liberalisme itu haram, kok jadi mereka sok ngatur-ngatur ya? Liberalisme yang dibawa Barat ternyata lebih tendensius kepada Islam, sebagai agama yang dakwah adalah ruh bagi para pemeluknya.
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ 
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. [Q.S.Ali Imran : 110].
Orang-orang sekuler biasanya menanyakan maqaashid asy-Syarie’ah dalam hal fiqih ibadah, seperti shalat. Mereka mengatakan, “Apa sih manfaat shalat? Kalau hanya sekedar untuk ingat kepada Allah, dalam hati pun bisa.” Seolah mereka ingin dipandang logis dan intelek. Namun mereka tidak pernah menanyakan maqaashid asy-Syarie’ah tentang fiqih Huduud dan Jinaayaat (hukum pidana) yang diusung oleh Islam. Baru, setelah efek dari narkoba, korupsi hingga prostitusi merebak, mereka ingin menghukum seberat-beratnya. Tak pernah ada ketegasan dalam hukum mati hingga matinya hukum.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأنْثَى بِالأنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الألْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. Dan dalam kisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa. [Q.S. al-Baqarah : 178-179].
Bila Indonesia ingin maju, berkacalah pada Nabi shalla-Llahu ‘alaihi wa sallam. Beliau menghadapi sebuah negara yang sama keadaannya dengan Indonesia, bahkan lebih parah. Yatsrib namanya, sebelum beliau menggantinya dengan Madienah ar-Rasuul, adalah sebuah daerah yang subur dengan pepohonan kurma, berbagai etnik tinggal di sana, agama pun tak sama, serta yang lebih parah adalah perang saudara antara Aus dan Khazraj yang tak ada habisnya. Mirip kan dengan Indonesia? Jadi, jangan kira Sipilis (Sekularis, Pluralis dan Liberalis) adalah produk baru.

Untuk menangani hal itu semua, Rasulullah shalla-Llahu ‘alaihi wa sallam pun merumuskan Piagam Madinah (Shahiefah al-Madienah). Dalam piagam tersebut memuat tentang; 1. Monoteisme 2. Penghargaan atas Pluralisme 3. Supremasi Syariat, dan 4. Landasan politik damai dan proteksi.
Selain dari adanya Piagam Madinah, perangkat-perangkat lain yang tak kalah penting dalam membangun sebuah negara, Rasulullah shalla-Llahu ‘alaihi wa sallam menanamkan pada umatnya tentang; 1. Tauhid 2. Ibadah 3. Iqamatul Masjid 4. Ukhuwwah Islamiyyah, dan 5. Daulatul Islamiyyah. Inilah tahapan-tahapan yang beliau lakukan dalam membangun suatu negara, negara Islam.
Sungguh luar biasa Rasulullah shall-Llahu ‘alaihi wa sallam dalam merumuskan satu perumusan yang dapat mengatur berbagai sisi kehidupan masyarakat dari mulai agama hingga hukum ditempatkan dalam proporsinya masing-masing. Dan hal itu terbukti dengan rekam jejak perjalanan beliau ketika menjadi presiden selama 10 (sepuluh) tahun, cukup hanya “dua periode”. Kesuksesannya terasa hingga sekarang.
Indonesia pada pemerintahan Presiden Baharudin Jusuf Habibi pernah ingin mengusung masyarakat Madani (sesuai yang dicontohkan oleh Rasulullah di atas), namun hal itu malah mendapat protes keras. Inilah yang dari dulu menghambat Indonesia untuk maju, berada di depan negara-negara yang lainnya. Setiap kali ada gagasan cemerlang, selalu ditolak dan diabaikan. Selalu ada “cakcak bodas” yang mengintai pergerakan perubahan.
Tak sedikit masyarakat dan para aktifis muak dengan pemerintahan, hingga tak segan untuk mengkudeta karena sudah tak tahan. Khilafah katanya adalah solusi terampuh untuk menangani masyarakat Indonesia yang heterogen ini. Konspirasi-konspirasi  yang ada di Indonesia ini dapat dihentikan dengan adanya khilafah. Betulkah?
Para Founding Father kita sebenarnya dahulu telah merumuskan negara hampir mirip dengan Madinah dahulu yang heterogen. Yaitu dengan nama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Menanamkan pilar-pilar seperti yang terdapat di dalam Piagam Madinah. Serta Undang-Undang Dasar yang mengandung unsur ketauhidan di awalnya, yaitu; “Berkat Rahmat Allah Yang Maha Esa” yang sampai hari ini belum terganti (duka engké mah).
Saya pernah menyampaikan sebuah presentasi matkul agama di jurusan tentang bahwa Indonesia adalah negara Islam. Kemudian salah seorang teman bertanya, “Apa indikasi Anda mengatakan hal itu?” jujur saya lupa untuk mengatakan dasar-dasar negara seperti yang di atas, malah langsung menyebutkan hasil implementasi dari dasar-dasar negara, seperti adanya Perguruan Tinggi Islam, Pengadilan Agama, Bank Syariah dan lain-lain. Hingga akhirnya saya diberi pertanyaan telak, “Apakah itu saja yang menjadi indikasi negara Indonesia adalah negara Islam? Di Amerika terdapat Perguruan Tinggi Islam, tapi tidak menjadikan Amerika negara Islam.” Tetot.
Bila kita cermati dengan seksama, dasar-dasar negara sebenarnya lebih condong dan pro terhadap Islam. Seperti konsep NKRI yang serupa dengan heterogenisme Madinah dahulu. Lalu Pancasila yang memuat istilah-istilah, yang hanya dimiliki oleh Islam sebagai berikut :
  1. Ketuhanan Yang Maha Esa. Seperti yang telah disebutkan di atas, kalimat ini menjadi rancu karena dibuang 7 kata setelahnya.
  2. Kemanusiaan yang adil dan beradab. Adil dan adab adalah bahasa Islam
  3. Persatuan Indonesia. Seperti yang tercantum di dalam Piagam Madinah bahwa umat Islam, Yahudi dan yang lainnya harus saling tolong menolong pada saat Madinah diserang
  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan. Musyawarah, jelas adalah bahasa Islam
  5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Bukankah Islam adalah agama Rahmatan li al-‘Aalamien?
Jelaslah dasar-dasar Negara Islam versi NKRI sebenarnya sudah ada, tinggal apakah kita mau atau tidak untuk memperjuangkannya? Meski konsekuensinya adalah berperan aktif dalam politik praktis. Jangan hanya bisa mengkritik dan mencela, tanpa ada keinginan sama sekali untuk berubah dan merubah. Kalau bukan kita, siapa lagi? (ekhm .. kampanye)
Bilamana tauhid sudah kuat (terkikisnya unsur takhayul), ibadah mulai mantap (meleknya masyarakat terhadap Sunnah), pembangunan masjid sudah megah (sagedé badag), berarti tinggal Ukhuwwah Islamiyyah yang harus diperkuat hingga sampai pada puncaknya nanti, yaitu; Daulah Islamiyyah.
Mari, kita awali semua hal itu dengan basmalah serta semangat “Mengembalikan Piagam Jakarta”.
Hamasah! :) 

_________
Dikutip dari Bulletin Arrasikh, karya HF

Share on Google Plus

Penulis : Hima Persis Unpad

Mari membaca artikel lainnya dibawah ini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment