Salah satu yang dilematis ditemukan di dalam
sebuah riwayat hadits ialah ditemukannya rawi-rawi Syiah dalam sanad hadits
tersebut. Terlebih bila hadits tersebut adalah hadits tersebut diriwayatkan
oleh Imam al-Bukhari dan Muslim, di mana keshahihan keduanya sudah tidak
diragukan lagi. Lalu, apakah hal ini mengindikasikan bahwa Imam al-Bukhari dan
Muslim melegitimasi faham Syiah? Atau apakah nantinya ketika diketemukan rawi
Syiah dari periwayatan keduanya menyebabkan turun derajat kredibilitas keduanya
yang sudah diberi label oleh para ulama sebagai “muttafaq ‘alaih”?!
Hal ini perlu ditelusuri sampai ke
akar-akarnya, perlu diklarifikasi, agar tidak timbul penilaian keliru terhadap
keseluruhan riwayat al-Bukhari dan Muslim. Dan juga tidak disalahgunakan oleh
orang-orang yang punya kepentingan tersendiri tanpa ada korelasi yang tepat
antara hipotesa dan realita. Oleh karenanya, penulis mengembalikan kepada
pensyarah utama shahih al-Bukhari, Ibnu Hajar al-‘Asqalaniy, dalam
mengklarifikasinya.
Ibnu Hajar al-‘Asqalaaniy membuat sebuah “Tutorial Book of
Fath al-Baariy”, Hadyu as-Saariy,
Muqaddimah Fath al-Baariy. Dalam kitab tersebut dipaparkan secara lugas dan
panjang lebar apa yang akan diketemukan oleh pembaca kitab Fath al-Baariy.
Maka, setidaknya jika kita ingin mengetahui apa maksud isi kandungan Shahih
al-Bukhari, maka perlu untuk merujuk pada Fath al-Baariy, dan untuk mengetahui
isi kandung Fath al-Baariy perlu pula untuk merujuk pada Hady as-Saariy.
Kesimpulannya, bila ingin mengetahui isi kandungan Shahih al-Bukhari, maka
sudah sepantasnya untuk merujuk Hady as-Saariy pula.
Khusus mengenai para rawi yang memiliki
kecacatan dalam kepribadian-nya, Ibnu Hajar sengaja membuat fashal khusus
mengenai hal itu (hal. 513-620)[1];
الفصل التاسع
: في سياق أسماء من طعن فيه من رجال هذا الكتاب
مرتبا لهم على حروف المعجم والجواب عن الاعتراضات موضعا موضعا وتمييز من أخرج له
منهم في الأصول أو في المتابعات والاستشهادات مفصلا لذلك جميعه
Fashal yang ke-enam : Tentang penyampaian
nama-nama yang dikomentari di antara rawi-rawi kitab ini secara tersusun
berdasar huruf hijaiyyah. Serta jawaban tentang sanggahan-sanggahan secara
tematis dan penjelasan orang yang meriwayatkan hadits dari mereka dalam pokok
(hadits), mutaba’aat, ataupun istisyhaad secara terperinci terhadap hal itu
seluruhnya.
Ada beberapa komentar beliau yang perlu untuk
dijadikan catatan dan pegangan dalam memahami periwayatan Syi’ah di dalam
Shahih al-Bukhari, sebagai berikut[2] :
وأما البدعة فالموصوف
بها أما أن يكون ممن يكفر بها أو يفسق فالمكفر بها لا بد أن يكون ذلك التكفير
متفقا عليه من قواعد جميع الأئمة كما في غلاة الروافض من دعوى بعضهم حلول الإلهية
في علي أو غيره أو الإيمان برجوعه إلى الدنيا قبل يوم القيامة أو غير ذلك وليس في الصحيح
من حديث هؤلاء شئ البتة والمفسق لأنه بها كبدع الخوارج والروافض الذين لا يغلون
ذلك الغلو وغير هؤلاء من الطوائف المخالفين لأصول السنة خلافا ظاهرا لكنه مستند
إلى تأويل ظاهرة سائغ فقد اختلف أهل السنة في قبول حديث من هذا سبيله إذا كان
معروفا بالتحرز من الكذب مشهورا بالسلامة من خوارم المروأة موصوفا بالديانة
والعبادة فقيل يقبل مطلقا وقيل يرد مطلقا والثالث التفصيل بين أن يكون داعية أو
غير داعية فيقبل غير الداعيه ويرد حديث الداعيه وهذا المذهب هو الأعدل وصارت إليه
الطوائف من الأئمة وادعى بن حبان إجماع أهل النقل عليه لكن في دعوى ذلك نظر ثم
اختلف القائلين بهذا التفصيل فبعضهم أطلق ذلك وبعضهم زاده تفصيلا فقال ان اشتملت
رواية غير الداعيه على ما يشيد بدعته ويزينه ويحسنه ظاهرا فلا تقبل وأن لم تشتمل
فتقبل وطرد بعضهم هذا التفصيل بعينه في عكسه في حق الداعيه فقال أن اشتملت روايته
على ما يرد بدعته قبل وإلا فلا وعلى هذا إذا اشتملت رواية المبتدع سواء كان داعية
أم لم يكن على ما لا تعلق له ببدعته أصلا هل ترد مطلقا أو تقبل مطلقا مال أبوالفتح
القشيري إلى تفصيل آخر فيه فقال إن وافقه غيره فلا يلتفت إليه هو اخماد لبدعته
واطفاء لناره وأن لم يوافقه أحد ولم يوجد ذلك الحديث الا عنده مع ما وصفنا من صدقه
وتحرزه عن الكذب واشتهاره بالدين وعدم تعلق ذلك الحديث ببدعته فينبغي أن تقدم
مصلحة تحصيل ذلك الحديث ونشر تلك السنة على مصلحة اهانته وإطفاء بدعته والله أعلم
وأعلم أنه قد وقع من جماعة الطعن في جماعة بسبب اختلافهم في العقائد فينبغي التنبه
لذلك وعدم الاعتداد به إلا بحق وكذا عاب جماعة من الورعين جماعة دخلوا في أمر
الدنيا فضعفوهم أخبرنا لذلك ولا أثر لذلك التضعيف مع الصدق والضبط والله الموفق
وأبعد ذلك كله من الاعتبار تضعيف من ضعف بعض الرواة بأمر يكون الحمل فيه على غيره
أو للتجامل يا بين الأقران وأشد من ذلك تضعيف من ضعف من هو أوثق منه أو أعلى قدرا
أو أعرف بالحديث فكل هذا لا يعتبر به وقد عقدت فصلا مستقلا سردت فيه أسماءهم في
آخر هذا الفصل بعون الله وإذ تقرر جميع ذلك فنعود إلى سرد أسماء من طعن فيه من
رجال البخاري مع حكاية ذلك العطن والتنقيب عن سببه والقيام بجوابه والتنبيه على
وجه رده على النعت الذي أسلفناه في الأحاديث المعللة بعون الله
Adapun pelaku bid’ah, maka orang yang disifati
dengan hal itu bisa dikategorikan kafir ataupun fasiq. Adapun yang dikategorikan
kafir mestilah ada bentuk pengafiran yang disepakati oleh teori-teori seluruh
imam dengan meninjau perihal dunianya sebelum nanti pada hari kiamat[3].
Sebagaimana yang terdapat pada Rafidhah yang ghulat berupa anggapan sebagian
mereka tentang bolehnya menisbahkan ketuhanan kepada Ali atau yang lainnya,
atau mengimani akan kembalinya ke dunia sebelum hari kiamat atau selain hal
itu. Dan tidak terdapat satu pun yang seperti terdapat di dalam hadits shahih[4].
Adapun yang dikategorikan sebagai orang yang fasiq seperti bid’ah Khawarij[5]
dan Rafidhah yang mereka berlebihan dalam perbid’ahan itu dan selain mereka
dari kelompok yang menyelisihi pokok-pokok sunnah dengan perselisihan yang
jelas. Meskipun boleh untuk dijadikan sebagai pegangan untuk menta’wil lahiriahnya.
Ahl as-Sunnah telah berbeda pendapat mengenai
penerimaan hadits dari aspek ini. Apabila ia diketahui dalam menjaga diri dari
berdusta, terkenal akan keselematannya dari perusak muruah[6],
disifati dengan ahli ibadah. Maka, ada yang berpendapat ditemrima secara utuh
dan ada yang berpendapat ditolak semuanya.
Yang ke-tiga[7]
rincian antara keadaannya mengajak atau tidak (pada perbid’ahan itu). Maka,
yang tidak mengajak diterima dan yang mengajak ditolak periwayatan haditsnya.
Inilah pendapat yang lebih adil dan para ulama pun lebih condong padanya.
Sedang Ibnu Hibban mengklaim ijma’ orang-orang yang menukil darinya, tetapi
klaimnya itu bermasalah.
Kemudian orang-orang yang berkata demikian[8]
berbeda pendapat dengan rincian ini. Sebagian mereka memutlakkan hal itu dan
sebagiannya lagi menambahkannya sebagai penjelas. Jika periwayatan orang yang
tidak mengajak itu memenuhi apa yang ia dapat menyiarkan bid’ahnya dan menghias
serta membaguskannya, maka tertolak. Jika tidak, maka diterima.
Sebagian ulama ada yang menyingkirkan rincian
ini secara terbalik pada hak orang yang mengajak. Mereka mengatakan jika
periwayatannya itu memenuhi pada apa yang sebelumnya tertolak bid’ahnya. Jika
tidak, maka tidak. Maka berdasarkan hal ini, riwayat pelaku bid’ah mencakup
orang yang mengajak ataupun tidak terhadap apa yang tidak berkaitan dengan
bid’ahnya secara pokok apakah diterima atau ditolak seluruhnya? Abu al-Fath
al-Qusyairiy lebih condong pada kriteria yang lain tentangnya. Ia mengatakan
jika selainnya itu menyepakatinya, maka tidak dihiraukan. Ia itu telah
memadamkan perbid’ahannya dan menyalakan api neraka untuknya[9].
Tapi jika tidak ada yang menyepakatinya dan tidak diketemukan hadits tersebut
kecuali hanya riwayatnya saja bersamaan dengan apa yang telah kita sifati
dirinya dengan kejujuran dan memalingkan diri dari kedustaan, terkenal ahli
ibadah serta tidak adanya keterkaitan hadits itu dengan bid’ahnya. Maka,
selayaknya untuk mendahulukan maslahat menghasilkan hadits dan menyebarkan
sunnah itu daripada maslahat menghinakannya dan memadamkan perbid’ahannya.
Wa-Llahu A’lam.
Ketahuilah bahwasanya telah terdapat dari
kelompok yang cacat ada pada kelompok yang lain (yang tidak cacat)[10]
disebabkan perbedaan mereka dalam kayakinan-keyakinan, maka hal itu perlu
dikajiulang tanpa menduga-duga kecuali dengan hak. Dan seperti itulah
sekelompok ulama mencemarkan orang-orang yang wara’, yang mereka masuk pada
perkara dunia hingga mereka melemahkan mereka karenanya. Dan tidak ada pengaruh
pada pendhaifan tersebut bersama dengan adanya kejujuran dan kekredibelan.
Wa-Llahu al-Muwaffiq.
Dan semua hal mengenai ungkapan mendha’ifkan
dari kedha’ifan sebagian rawi itu dinggap jauh disebabkan perkara yang
mengandung kemungkinan lain atau karena kemungkinan antara qarinah-qarinah. Dan
yang lebih keras dari hal itu adalah mendha’ifkan dari dha’ifkan orang yang
lebih tsiqah darinya atau lebih tinggi kedudukannya, atau juga lebih mengetahui
tentang hadits. Dan seluruh hal ini tidka dapat diungkapkan dengannya. Sungguh
aku telah membuat suatu fashal tersendiri yang telah aku rinci nama-nama orang
yang dianggap cacat dari rawi-rawi al-Bukhari bersama cerita kecacatannya itu,
menyelidiki penyebabnya, serta mendirikan jawabannya, juga memberi catatan atas
aspek penolakannya pada sifat yang telah kami dahulukan pada hadits-hadits
cacat dengan pertolongan Allah ta’ala serta taufiq-Nya.
Selanjutnya, mari kita teliti seluruh
rawi-rawi Syi’ah atau yang diduga Syi’ahpun tak luput dari pengamatan, yang ada
di dalam shahih al-Bukhari dengan penilaian yang seadil-adilnya dan
sebijak-bijaknya. Sebagai berikut[11] :
1.
Ishaq bin Suwaid bin Hubairah al-‘Adawiy[12].
Ibnu Ma’in, an-Nasaaiy dan al-‘Ajaliy telah menganggapnya tsiqah dan mengatakan
ia lebih condong kepada Ali bin Abi Thalib. Abu al-‘Arab menyebut namanya di
dalam adh-Dhu’afaa’, lalu mengatakan; siapa yang tidak mencintai seluruh
sahabat maka bukanlah seorang tsiqah maupun memiliki karamah.
Aku (Ibnu Hajar)
mengatakan : Ada satu hadits baginya di dalam al-Bukhari pada kitab ash-Shiyaam[13] sebagai
penyerta Khalid al-Hadzaa’[14].
Imam Muslim, Abu Daud dan an-Nasaaiy telah meriwayatkan darinya.
2.
Sa’id bin ‘Amr bin Asywa’ al-Kuufiy[15].
Seorang faqih. Ibnu Ma’in, an-Nasaaiy, al-‘Ajaliy dan Ishaq bin Rahawaih telah
menganggapnya tsiqah. Adapun Abu Ishaq al-Jauzajaaniy mengatakan bahwa ia itu
condong dan berlebihan dalam ke-Syia’ahannya.
Aku mengatakan :
Justru al-Jauzajaaniy[16]
condong pada Nashibi, maka hal ini menjadi pertentangan. Sungguh Imam al-Bukhari dan Muslim serta
at-Tirmidziy telah menjadikan hujjah dengannya. Ada dua hadits yang beliau
riwayatkan darinya[17],
salah satunya menjadi mutabi’.
3.
Sa’id bin Fairuz Abu al-Bukhturi ath-Thaaiy[18].
Ia terkenal di kalangan para tabi’in. Ibnu Ma’in, Abu Zur’ah dan al-‘Ajaliy
menganggapnya tsiqah dan mengatakan bahwa ia Syi’ah. Abu Daud mengatakan ia
tidak mendengar dari Abu Sa’id al-Khudriy. Ibnu Ma’in mengatakan ia tidak
mendengar dari Ali. Abu Hatim mengatakan riwayatnya dari Abu Dzar, Umar, Aisyah
dan Zaid bin Tsabit radhiya-Llahu ‘anhum itu mursal[19]
dan ia pun tidak mendengar dari Rafi’ bin Khudaij. Ibnu Sa’ad pun mengatakan
bahwa ia itu banyak meriwayatkan hadits dan juga banyak memursalkannya. Maka
haditsnya secara sima’ itu hasan. Jika dari yang lainnya maka dha’if.
Aku mengatakan : Imam
al-Bukhari hanya mengeluarkan satu hadits saja darinya, dari Ibnu ‘Umar dan
Ibnu ‘Abbas secara bersamaan, yang beliau menegaskan sima’-nya[20].
Dan perawi hadits lainnya berhujjah dengan riwayatnya.[21]
4.
Abdu ar-Razzaq bin Hammam bin Nafi’
al-Himyariy ash-Shan’aniy[22].
Salah seorang Hafizh dan Atsbat, seorang penulis. Seluruh imam hadits telah
menganggapnya tsiqah, kecuali al-‘Abbas bin Abd al-‘Azhiem al-‘Anbariy saja. Ia
mengomentari dengan komentar yang gegabah, yang tidak disetujui oleh siapapun.
Abu Zur’ah ad-Dimasyqiy mengatakan, Imam Ahmad pernah ditanya siapakah yang
lebih atsbat pada riwayat Ibnu Juraij, Abdu ar-Razzaq atau Muhammad bin Bakr
al-Bursaniy? Beliau menjawab, Abdu ar-Razzaq. Abbas ad-Dauriy mengatakan dari
Ibnu Ma’in, adalah Abdu ar-Razzaq lebih kuat pda hadits Ma’mar dari Hisyam bin
Yusuf. Ya’qub bin Syaibah mengatakan dari Ali bin al-Madiniy ia mengatakan,
Hisyam bin Yusuf berkata kepadaku bahwa Abdu ar-Razzaq adalah yang lebih tau
dan lebih hafal di antara kami. Ya’qub mengatakan (padahal) kedua-duanya
(Hisyam bin Yusuf dan Abdu ar-Razzaq) adalah tsiqah dan tsabat. Adz-Dzuhliy
mengatakan ia lebih melek dalam hadits dan hafizh. Ibnu ‘Adiy mengatakan; para
tsiqah dari kaum muslimin berdatangan kepadanya
dan menulis hadits darinya, akan tetapi mereka menisbahkan dirinya
seorang Syia’ah dan itu adalah hal yang paling besar yang mereka cemoohkan
padanya. Adapun kejujuran maka aku harap bahwasanya ia tidak mengapa.
An-Nasaaiy mengatakan dirinya perlu ditinjau ulang bagi orang yang menuliskan
darinya dengan akhir yang mereka tuliskan darinya berupa hadits-hadits munkar[23].
Al-Atsram mengatakan dari Imam Ahmad, siapa yang mendengar darinya setelah ia
buta maka tidak dapat diterima. Dan yang
ada di dalam kitab-kitabnya, maka itu sah. Yang tidak terdapat di dalam
kitab-kitabnya, maka ia itu didikte dan mendiktekannya.
Aku mengatakan :
Imam al-Bukhari dan Muslim telah berhujjah dengannya pada sejumlah hadits orang
yang mendengar darinya sebelum tercampur. Dan penguat hal itu ialah orang yang
mendengar darinya itu ialah sebelum tahun dua ratus Hijriyyah, adapun
setelahnya maka sungguh ia telah berubah. Pada tahun di mana ia telah berubah
Ahmad bin Syabawaih mendengar darinya pada apa yang telah dikisahkan oleh
al-Atsram dari Ahmad, Ishaq ad-Dairiy dan sekelompok guru Abu ‘Awanah dan
ath-Thabraniy dari orang yang terakhir
sampai mendekati 280 H. Serta sisanya meriwayatkan darinya.[24]
5.
Ubaidullah bin Musa bin Abi al-Mukhtar
al-‘Absiy[25].
Pemimpin mereka adalah Abu Muhammad al-Kuufiy salah seorang pembesar guru Imam
al-Bukhari. Ia mendengar dari sekolompok
tabi’in. Ibnu Ma’in, Abu Hatim, al-‘Ajaliy, ‘Utsman bin Abi Syaibah dan yang
lainnya telah men-tsiqah-kannya. Ibnu Sa’ad mengatakan bahwa ia itu seorang
tsiqah dan jujur, baik keadaannya, namun seorang Syi’ah. Ia meriwayatkan
hadits-hadits mengenai syia’ah secara munkar dan didhaifkan karenannya menurut
kebanyakan ulama. Imam Ahmad menganggap cacat berlebihannya dalam Syi’ah
bersamaan dengan sifat zuhud dan ahli ibadah yang dimilikinya. Abu Hatim
mengatakan ia itu lebih tsabat dalam riwayat Israil. Ibnu Ma’in mengatakan ia
memiliki Jami’ Sufyan namun dianggap dha’if padanya.
Aku mengatakan :
Imam al-Bukhari tidak meriwayatkan satu pun haditsnya dari ats-Tsauriy[26]
dan sisanya berhujjah dengannya.
6.
Ali bin al-Ja’d bin ‘Ubaid al-Jauhariy Abu
al-Hasan al-Baghdadiy[27]
salah seorang hafizh[28].
Yahya bin Ma’in mengatakan tidak ada seorang rawi dari Baghdad yang lebih
tsabat meriwayatkan dari Syu’bah daripada Ali bin al-Ja’d. Lalu seseorang
bertanya padanya, bahkan Abu an-Nadhr
dan Syababah? Beliau menjawab, tidak pula Abu an-Nadhr dan Syababah. Abu Hatim
mengatakan, aku tidak pernah melihat satu pun muhaddits yang meriwayatkan
hadits dengan satu lafazh tanpa mengubahnya selain Ali bin al-Ja’d, dan beliau
menyebutkan yang lainnya pula. Sebagian ulama yang lain menganggapnya tsiqah, sedangkan
Imam Ahmad memperbincangkannya karena ke-Syi’ah-annya dan karena sikap
abstainnya terhadap al-Quran[29].
Aku mengatakan :
al-Bukhari meriwayatkan haditsnya dari jalur Syu’bah[30]
saja hadits-hadits yang mudah. Imam Abu Daud juga meriwayatkan darinya.
7.
‘Auf bin Abi Jamilah al-A’rabiy al-Bashriy Abu
Sahl al-Hijriy[31].
Imam Ahmad dan Ibnu Ma’in telah mentsiqahkannya. An-Nasaaiy mengatakan ia
tsiqah dan tsabat. Muhammad bin Abdillah al-Anshari mengatakan ia adalah yang
paling tsabat, akan tetapi ia seorang qadariyyah. Ibnu al-Mubarak metakan ia
Qadariyyah dan Syi’ah.
Aku mengatakan :
Semua muhaddits berhujjah dengannya[32].
Imam Muslim mengatakan di dalam muqaddimah kitab Shahihnya, apabila aku
menyertakan qarinah-qarinah seperti Ibnu ‘Aun dan Ayub bersama ‘Auf bin Abi
Jamilah dan Asy’ats al-Hamraniy sedang keduanya adalah murdi al-Hasan dan Ibnu
Sirin sebagaimana Ibnu ‘Aun dan Ayub adalah murid keduanya. Adalah keutamaan
antara keduanya dan kedua hal ini jauh sekali dalam kesempurnaan keutamaan dan
sahnya penukilan, meski ‘Auf dan Asy’ats tidak tertolak dari kejujuran dan
amanah.
8.
Muhammad bin Jahadah al-Kuufiy[33]. Imam
Ahmad dan sekelompok Muhaddits telah mentsiqahkannya. Dan sebagian lain
memperbincangkannya karena ucapan Abu ‘Awanah : ia seorang Syi’ah.
Aku mengatakan :
seluruh Muhaddits telah berhujjah dengannya. Dan tidak ada riwayatnya di dalam
al-Bukhari kecuali dua hadits[34]
yang tidak berhubungan dengan madzhab apapun.
9.
Muhammad bin Fudhail bin Ghazawan al-Kuufiy
Abu ‘Abdirrahman adh-Dhabiy[35].
Salah seorang guru Imam Ahmad dan ia mempunyai kitab-kitab. Al-‘Ajaliy dan Ibnu
Ma’in telah mentsiqahkannya. Imam Ahmad mengatakan ia seorang Syi’ah namun baik
haditsnya. Abu Zur’ah mengatakan ia jujur bagian dari ahli ilmu. An-Nasaaiy
mengatakan riwayatnya tidak mengapa. Ibnu Sa’ad mengatakan ia tsiqah dan banyak
meriwayatkan hadits serta seorang Syi’ah sedang sebagia ulama tidak berhujjah
dengannya.
Aku mengatakan :
hanyalah dipermasalahkan ialah masalah ke-Syi’ahannya. Ahmad bin Ali al-Abbar
mengatakan telah menceritakan kepada kami Abu Hasyim aku mendengar Ibnu Fudhail
(Muhammad bin Fudhail) mengatakan : Semoga Allah merahmati ‘Utsman dan semoga
Allah tidak memberikan rahmat kepada orang yang tidak mengasihi ‘Utsman dan aku
melihat atsar ahl as-Sunnah dan al-Jama’ah semoga Allah merahmatinya[36].
Al-Jama’ah pun berhujjah dengannya.
Hanya ada 9 (sembilan)
rawi Syi’ah yang ada di dalam shahih al-Bukhari yang berhasil kami
identifikasi. Tinggal terakhir sikap kita dalam menyikapi perawi Syi’ah yang
diungkap oleh Ibnu Hajar sebagai berikut[37] :
Dan dari penjelas tadi, jelaslah siapa yang
layak dari mereka dan yang tidak untuk dijadikan hujjah itu ada dua bagian:
Pertama; Kedhaifan disebabkan keyakinan.
Sungguh telah kami kemukakan hukumnya dan telah kami jelaskan biografi
masing-masing mereka bahwa mereka tidak mengajak dan bertobat atau
riwayatnya saling membantu sebagai mutabi.[38]
Wa-Llahu A’lam.[39]
[1] Cet. Daar el-Hadits, Kairo, Mesir. Tahun
terbit : 2004. Ukuran : 17x24 cm.
[2] Sebelumnya Ibnu Hajar menyampaikan
terlebih dahulu lima hal yang dapat membuat hadits dari segi sanad tertolak
periwayatannya, yaitu :
a.
Pelaku bid’ah
b.
Keliru
c.
Menyelisihi mayoritas shahih
d.
Majhul al-haal
e.
Anggapan terputusnya sanad dengan adanya tadlis
atau irsal. (lihat; Hady as-Saariy : 513).
[3] Yang dimaksud di sini ialah tidak
menjadi alasan orang yang jelas-jelas melakukan tindakan kekafiran di dunia
untuk langsung memvonisnya kafir. Adapun benar atau tidaknya itu baru
dikembalikan kepada Allah pada hari kiamat. Karena tugas kita ialah menilai
sesuatu yang lahir bukan yang batin. Wa hisabuhum ‘ala-Llah.
[4] Riwayat Bukhari dan Muslim, atau yang
semisal dengan metode mereka dalam menilai hadits.
[5] Orang-orang yang melakukan separatis pada
kekuasaan kaum muslimin yang sah. Keterangan lebih lanjut bisa membaca buku
Islam Tanpa Sesat karya Dr. Nashruddin Syarif M.Ag.
[6] Harga diri, lafazh lain dari muruwwah.
(baca: Antara Wanita, Perempuan dan an-Nisaa’).
[7] Kriteria yang pertama ialah pelaku bid’ah
dan yang kedua ialah jujur dalam meriwayatkan hadits.
[8] Yang mengatakan bolehnya menerima riwayat
pelaku bid’ah yang jujur dan tidak mengajak pada perbid’ahannya.
[9] Maksudnya, pelaku bid’ah yang
riwayatnya disepekati oleh orang lain itu tidak perlu dihiraukan akan
perbid’ahannya. Karena secara tidak langsung ia telah memadamkan bid’ahnya
sendiri dengan riwayatnya, riwayat yang diterima.
[10] Menurut ulama yang lain
[11] Ibid. Hal. 520, 542, 560, 565, 574,
578, 584, dan 589.
[12] الاسم : إسحاق بن سويد بن هبيرة العدوى
التميمى البصرى ( عم أبى نعامة العدوى عمرو بن عيسى بن سويد بن هبيرة )
الطبقة : 3 : من
الوسطى من التابعين
الوفاة : 131 هـ
روى له : خ م د س
( البخاري - مسلم - أبو داود - النسائي )
رتبته عند ابن حجر : صدوق تكلم فيه للنصب
رتبته عند الذهبي : لم يذكرها
[13] Bab Syahraa ‘Ied laa Yanqushaan.
[14] Hadits yang dimaksud ialah sebagai berikut
:
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ
حَدَّثَنَا مُعْتَمِرٌ قَالَ سَمِعْتُ إِسْحَاقَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِى
بَكْرَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - . وَحَدَّثَنِى مُسَدَّدٌ
حَدَّثَنَا مُعْتَمِرٌ عَنْ خَالِدٍ الْحَذَّاءِ قَالَ أَخْبَرَنِى عَبْدُ الرَّحْمَنِ
بْنُ أَبِى بَكْرَةَ عَنْ أَبِيهِ - رضى الله عنه - عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه
وسلم - قَالَ « شَهْرَانِ لاَ يَنْقُصَانِ شَهْرَا عِيدٍ رَمَضَانُ وَذُو الْحَجَّةِ » .
Imam
al-Bukhari lebih memilih jalur Khalid al-Hadzaa’ karena lebih sesuai dengan
judul bab yang beliau buat. (lihat; Fath
al-Baariy Kitab ash-Shiyaam Bab Syahraa ‘Ied laa Yanqushaan). Bila seandainya
riwayat dari Ishaq ini tertolak karena dituduh “Syi’ah”, maka justru jalur
periwayatan yang dipakai ialah jalur Khalid.
[15] الاسم : سعيد بن عمرو بن أشوع الهمدانى
الكوفى القاضى
الطبقة : 6 : من
الذين عاصروا صغارالتابعين
الوفاة : 120 هـ تقريبا
روى له : خ م ت
( البخاري - مسلم - الترمذي )
رتبته عند ابن حجر : ثقة رمى بالتشيع
رتبته عند الذهبي : ثقة
[16] الاسم : إبراهيم بن يعقوب بن إسحاق السعدى
، أبو إسحاق الجوزجانى ( سكن دمشق )
الطبقة : 11 : أوساط الآخذين عن تبع الأتباع
الوفاة : 259 هـ بـ دمشق
روى له : د ت س (
أبو داود - الترمذي - النسائي )
رتبته عند ابن حجر : ثقة حافظ رمى بالنصب
رتبته عند الذهبي : الحافظ
[17] Yaitu di dalam Kitab az-Zakaat Bab Laa
Yas-aluuna an-Naasa Ilhaafaa dan sebagai mutabi’-nya terdapat di dalam Kitab
asy-Syahaadat Bab Man Amara bi-Njaaz al-Wa’di. Dan bila seandainya riwayatnya
tertolak karena ke-Syi’ahannya, maka masih ada jalur lain yang diriwayatkan
oleh Imam Ahmad dan ath-Thabraaniy.
[18] الاسم : سعيد بن فيروز ، و هو سعيد بن أبى
عمران ، أبو البخترى الطائى مولاهم الكوفى
الطبقة : 3 : من
الوسطى من التابعين
الوفاة : 83 هـ
روى له : خ م د ت س ق
( البخاري - مسلم - أبو داود - الترمذي - النسائي - ابن ماجه )
رتبته عند ابن حجر : ثقة ثبت ، فيه تشيع قليل ، كثير الإرسال
رتبته عند الذهبي : قال حبيب بن أبى ثابت : كان أعلمنا و أفقهنا
[19] Mursal ialah yang terputus dari akhir
sanadnya orang yang setelah tabi’in (lihat; Taisier al-Mushthalah al-Hadits,
hal. 71).
[20] Kitab as-Salam, Bab as-Salam ilaa Man
Laysa ‘indahu Ashl. Di mana pada lafazh tersebut jelas, Abu al-Bukhturiy
mengungkapkan, “Aku bertanya pada Ibnu ‘Abbas.”
[21] Bila saja riwayat hadits ini masih
tertolak, masih ada jalur dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
[22] الاسم : عبد الرزاق بن همام بن نافع الحميرى
مولاهم ، اليمانى ، أبو بكر الصنعانى
المولد : 126 هـ
الطبقة : 9 : من
صغار أتباع التابعين
الوفاة : 211 هـ
روى له : خ م د ت س ق
( البخاري - مسلم - أبو داود - الترمذي - النسائي - ابن ماجه )
رتبته عند ابن حجر : ثقة حافظ مصنف شهير عمى فى آخر عمره فتغير ، و كان
يتشيع
رتبته عند الذهبي : أحد الأعلام ، صنف التصانيف
[23] Ialah suatu hadits yang di dalam sanadnya
terdapat rawi yang keji kekeliruannya atau banyak lalai atau nampak
kefasikannya.
[24] Banyak sekali orang yang meriwayatkan
darinya, hingga saya pun tidak bisa menghitung ada berapa haditsnya di dalam
shahih al-Bukhari. Pokoknya banyak.
[25] Klasifikasinya telah disebutkan
sebelumnya, lihat hal. 9
[26] Maksudnya ialah tidak ada riwayat
Ubaidullah yang bersumber dari Sufyan ats-Tsauriy. Karena al-Bukhari
meriwayatkan hadits darinya sekitar 39 hadits.
[27] الاسم : عبد الرحمن بن صالح الأزدى العتكى
، أبو صالح ، و يقال أبو محمد ، الكوفى ( سكن بغداد فى جوار على بن الجعد )
الطبقة : 10 : كبارالآخذين عن تبع الأتباع
الوفاة : 235 هـ
روى له : س ( النسائي )
رتبته عند ابن حجر : صدوق يتشيع
رتبته عند الذهبي : . . . .
[28] Yang dimaksud dengan al-hafizh yang sering
disebutkan, maksudnya bukan orang yang hanya hafal al-Quran. Tapi orang yang
hafal 100.000 hadits plus sanadnya, seperti al-Hafizh Ibnu Hajar dan Ibnu
Katsir.
[29] Yaitu tentang apakah al-Quran itu makhluk
atau bukan. Supra footnote no. 1 hal. 574.
[30] Ada sekitar 14 hadits yang diriwayatkan
oleh Imam al-Bukhari melalui Ali al-Ja’d, dan kesemuanya bersumber dari
Syu’bah.
[31] الاسم : عوف بن أبى جميلة العبدى الهجرى
، أبو سهل البصرى ، المعروف بالأعرابى ( و لم يكن أعرابيا )
المولد : 60 هـ أو 61 هـ
الطبقة : 6 : من
الذين عاصروا صغارالتابعين
الوفاة : 146 هـ أو 147 هـ
روى له : خ م د ت س ق
( البخاري - مسلم - أبو داود - الترمذي - النسائي - ابن ماجه )
رتبته عند ابن حجر : ثقة رمى بالقدر و بالتشيع
رتبته عند الذهبي : قال النسائى : ثقة ثبت
[32] Banyak sekali hadits yang bersumber dari
‘Auf bin Abi Jamilah.
[33] الاسم : محمد بن جحادة ، الأودى و يقال
الإيامى ، الكوفى
الطبقة : 5 : من
صغار التابعين
الوفاة : 131 هـ
روى له : خ م د ت س ق
( البخاري - مسلم - أبو داود - الترمذي - النسائي - ابن ماجه )
رتبته عند ابن حجر : ثقة
رتبته عند الذهبي : ثقة
[34] Imam al-Bukhari mencantumkan tiga hadits.
Dua hadits sama redaksinya. Yang satu Bab Kasb al-Baghiy wa al-Imaa’, yang
satunya lagi Bab Mahr al-Baghiy wa an-Nikah al-Fasid.
[35] الاسم : محمد بن فضيل بن غزوان بن جرير
الضبى مولاهم ، أبو عبد الرحمن الكوفى
الطبقة : 9 : من
صغار أتباع التابعين
الوفاة : 295 هـ
روى له : خ م د ت س ق
( البخاري - مسلم - أبو داود - الترمذي - النسائي - ابن ماجه )
رتبته عند ابن حجر : صدوق عارف رمى بالتشيع
رتبته عند الذهبي : ثقة شيعى
[36] Inilah salah satu penelusuran yang
dilakukan Ibnu Hajar sebagai tuduhan Syi’ah yang dialamatkan kepada Muhammad
bin Fudhail sebagai klarifikasi.
[37] Hady as-Saariy, hal. 613
[38] Dan hipotesa lain mengapa Imam
al-Bukhari mengutip hadits dari seorang Syi’ah, Qadariyah, Murjiah dan
lain-lain yang aqidahnya menyimpang ialah menjaga keobjektifitasan hadits
berdasarkan periwayatan yang jujur. Karena pemahaman dan keyakinan yang salah
itu bukan berarti hanya karena bersumber dari data yang salah, tapi bisa juga
data yang otentik namun salah memahami. Wa-Llahu a’lam.
[39] Pada halaman 91-92 diterangkan oleh
Syi’ah menurut Syi’ah bahwa Ahl as-Sunnah menerima riwayat seorang Rafidhah
dengan menukil pendapat adz-Dzahabi yang membolehkan menerima periwayatan
Rafidhah asalkan tidak melakukan Bid’ah besar. Namun, tidak disebutkan kriteria
atau syarat diterimannya riwayat tersebut seperti yang telah dikemukakan di atas.
Hal ini entah memang mereka belum pernah membaca Hady as-Saariy atau mungkin
sebuah penggelapan data agar maknanya menjadi kabur.
Dan lebih
lucunya lagi, mereka mengatakan, “Padahal sebagaimana telah kita ketahui
bersama, bahwa setiap jenis bidah adalah kesesatan.” APAKAH SYI’AH BUKAN
BID’AH?!
0 comments:
Post a Comment