Periwayatan Rawi Syiah, Bolehkah?

Salah satu yang dilematis ditemukan di dalam sebuah riwayat hadits ialah ditemukannya rawi-rawi Syiah dalam sanad hadits tersebut. Terlebih bila hadits tersebut adalah hadits tersebut diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim, di mana keshahihan keduanya sudah tidak diragukan lagi. Lalu, apakah hal ini mengindikasikan bahwa Imam al-Bukhari dan Muslim melegitimasi faham Syiah? Atau apakah nantinya ketika diketemukan rawi Syiah dari periwayatan keduanya menyebabkan turun derajat kredibilitas keduanya yang sudah diberi label oleh para ulama sebagai “muttafaq ‘alaih”?!

Hal ini perlu ditelusuri sampai ke akar-akarnya, perlu diklarifikasi, agar tidak timbul penilaian keliru terhadap keseluruhan riwayat al-Bukhari dan Muslim. Dan juga tidak disalahgunakan oleh orang-orang yang punya kepentingan tersendiri tanpa ada korelasi yang tepat antara hipotesa dan realita. Oleh karenanya, penulis mengembalikan kepada pensyarah utama shahih al-Bukhari, Ibnu Hajar al-‘Asqalaniy, dalam mengklarifikasinya.

Ibnu Hajar al-‘Asqalaaniy membuat sebuah Tutorial Book of Fath al-Baariy, Hadyu as-Saariy, Muqaddimah Fath al-Baariy. Dalam kitab tersebut dipaparkan secara lugas dan panjang lebar apa yang akan diketemukan oleh pembaca kitab Fath al-Baariy. Maka, setidaknya jika kita ingin mengetahui apa maksud isi kandungan Shahih al-Bukhari, maka perlu untuk merujuk pada Fath al-Baariy, dan untuk mengetahui isi kandung Fath al-Baariy perlu pula untuk merujuk pada Hady as-Saariy. Kesimpulannya, bila ingin mengetahui isi kandungan Shahih al-Bukhari, maka sudah sepantasnya untuk merujuk Hady as-Saariy pula.

Khusus mengenai para rawi yang memiliki kecacatan dalam kepribadian-nya, Ibnu Hajar sengaja membuat fashal khusus mengenai hal itu (hal. 513-620)[1];

الفصل التاسع :  في سياق أسماء من طعن فيه من رجال هذا الكتاب مرتبا لهم على حروف المعجم والجواب عن الاعتراضات موضعا موضعا وتمييز من أخرج له منهم في الأصول أو في المتابعات والاستشهادات مفصلا لذلك جميعه

Fashal yang ke-enam : Tentang penyampaian nama-nama yang dikomentari di antara rawi-rawi kitab ini secara tersusun berdasar huruf hijaiyyah. Serta jawaban tentang sanggahan-sanggahan secara tematis dan penjelasan orang yang meriwayatkan hadits dari mereka dalam pokok (hadits), mutaba’aat, ataupun istisyhaad secara terperinci terhadap hal itu seluruhnya.

Ada beberapa komentar beliau yang perlu untuk dijadikan catatan dan pegangan dalam memahami periwayatan Syi’ah di dalam Shahih al-Bukhari, sebagai berikut[2] :

وأما البدعة فالموصوف بها أما أن يكون ممن يكفر بها أو يفسق فالمكفر بها لا بد أن يكون ذلك التكفير متفقا عليه من قواعد جميع الأئمة كما في غلاة الروافض من دعوى بعضهم حلول الإلهية في علي أو غيره أو الإيمان برجوعه إلى الدنيا قبل يوم القيامة أو غير ذلك وليس في الصحيح من حديث هؤلاء شئ البتة والمفسق لأنه بها كبدع الخوارج والروافض الذين لا يغلون ذلك الغلو وغير هؤلاء من الطوائف المخالفين لأصول السنة خلافا ظاهرا لكنه مستند إلى تأويل ظاهرة سائغ فقد اختلف أهل السنة في قبول حديث من هذا سبيله إذا كان معروفا بالتحرز من الكذب مشهورا بالسلامة من خوارم المروأة موصوفا بالديانة والعبادة فقيل يقبل مطلقا وقيل يرد مطلقا والثالث التفصيل بين أن يكون داعية أو غير داعية فيقبل غير الداعيه ويرد حديث الداعيه وهذا المذهب هو الأعدل وصارت إليه الطوائف من الأئمة وادعى بن حبان إجماع أهل النقل عليه لكن في دعوى ذلك نظر ثم اختلف القائلين بهذا التفصيل فبعضهم أطلق ذلك وبعضهم زاده تفصيلا فقال ان اشتملت رواية غير الداعيه على ما يشيد بدعته ويزينه ويحسنه ظاهرا فلا تقبل وأن لم تشتمل فتقبل وطرد بعضهم هذا التفصيل بعينه في عكسه في حق الداعيه فقال أن اشتملت روايته على ما يرد بدعته قبل وإلا فلا وعلى هذا إذا اشتملت رواية المبتدع سواء كان داعية أم لم يكن على ما لا تعلق له ببدعته أصلا هل ترد مطلقا أو تقبل مطلقا مال أبوالفتح القشيري إلى تفصيل آخر فيه فقال إن وافقه غيره فلا يلتفت إليه هو اخماد لبدعته واطفاء لناره وأن لم يوافقه أحد ولم يوجد ذلك الحديث الا عنده مع ما وصفنا من صدقه وتحرزه عن الكذب واشتهاره بالدين وعدم تعلق ذلك الحديث ببدعته فينبغي أن تقدم مصلحة تحصيل ذلك الحديث ونشر تلك السنة على مصلحة اهانته وإطفاء بدعته والله أعلم وأعلم أنه قد وقع من جماعة الطعن في جماعة بسبب اختلافهم في العقائد فينبغي التنبه لذلك وعدم الاعتداد به إلا بحق وكذا عاب جماعة من الورعين جماعة دخلوا في أمر الدنيا فضعفوهم أخبرنا لذلك ولا أثر لذلك التضعيف مع الصدق والضبط والله الموفق وأبعد ذلك كله من الاعتبار تضعيف من ضعف بعض الرواة بأمر يكون الحمل فيه على غيره أو للتجامل يا بين الأقران وأشد من ذلك تضعيف من ضعف من هو أوثق منه أو أعلى قدرا أو أعرف بالحديث فكل هذا لا يعتبر به وقد عقدت فصلا مستقلا سردت فيه أسماءهم في آخر هذا الفصل بعون الله وإذ تقرر جميع ذلك فنعود إلى سرد أسماء من طعن فيه من رجال البخاري مع حكاية ذلك العطن والتنقيب عن سببه والقيام بجوابه والتنبيه على وجه رده على النعت الذي أسلفناه في الأحاديث المعللة بعون الله

Adapun pelaku bid’ah, maka orang yang disifati dengan hal itu bisa dikategorikan kafir ataupun fasiq. Adapun yang dikategorikan kafir mestilah ada bentuk pengafiran yang disepakati oleh teori-teori seluruh imam dengan meninjau perihal dunianya sebelum nanti pada hari kiamat[3]. Sebagaimana yang terdapat pada Rafidhah yang ghulat berupa anggapan sebagian mereka tentang bolehnya menisbahkan ketuhanan kepada Ali atau yang lainnya, atau mengimani akan kembalinya ke dunia sebelum hari kiamat atau selain hal itu. Dan tidak terdapat satu pun yang seperti terdapat di dalam hadits shahih[4]. Adapun yang dikategorikan sebagai orang yang fasiq seperti bid’ah Khawarij[5] dan Rafidhah yang mereka berlebihan dalam perbid’ahan itu dan selain mereka dari kelompok yang menyelisihi pokok-pokok sunnah dengan perselisihan yang jelas. Meskipun boleh untuk dijadikan sebagai pegangan untuk menta’wil lahiriahnya.
Ahl as-Sunnah telah berbeda pendapat mengenai penerimaan hadits dari aspek ini. Apabila ia diketahui dalam menjaga diri dari berdusta, terkenal akan keselematannya dari perusak muruah[6], disifati dengan ahli ibadah. Maka, ada yang berpendapat ditemrima secara utuh dan ada yang berpendapat ditolak semuanya.

Yang ke-tiga[7] rincian antara keadaannya mengajak atau tidak (pada perbid’ahan itu). Maka, yang tidak mengajak diterima dan yang mengajak ditolak periwayatan haditsnya. Inilah pendapat yang lebih adil dan para ulama pun lebih condong padanya. Sedang Ibnu Hibban mengklaim ijma’ orang-orang yang menukil darinya, tetapi klaimnya itu bermasalah.

Kemudian orang-orang yang berkata demikian[8] berbeda pendapat dengan rincian ini. Sebagian mereka memutlakkan hal itu dan sebagiannya lagi menambahkannya sebagai penjelas. Jika periwayatan orang yang tidak mengajak itu memenuhi apa yang ia dapat menyiarkan bid’ahnya dan menghias serta membaguskannya, maka tertolak. Jika tidak, maka diterima.

Sebagian ulama ada yang menyingkirkan rincian ini secara terbalik pada hak orang yang mengajak. Mereka mengatakan jika periwayatannya itu memenuhi pada apa yang sebelumnya tertolak bid’ahnya. Jika tidak, maka tidak. Maka berdasarkan hal ini, riwayat pelaku bid’ah mencakup orang yang mengajak ataupun tidak terhadap apa yang tidak berkaitan dengan bid’ahnya secara pokok apakah diterima atau ditolak seluruhnya? Abu al-Fath al-Qusyairiy lebih condong pada kriteria yang lain tentangnya. Ia mengatakan jika selainnya itu menyepakatinya, maka tidak dihiraukan. Ia itu telah memadamkan perbid’ahannya dan menyalakan api neraka untuknya[9]. Tapi jika tidak ada yang menyepakatinya dan tidak diketemukan hadits tersebut kecuali hanya riwayatnya saja bersamaan dengan apa yang telah kita sifati dirinya dengan kejujuran dan memalingkan diri dari kedustaan, terkenal ahli ibadah serta tidak adanya keterkaitan hadits itu dengan bid’ahnya. Maka, selayaknya untuk mendahulukan maslahat menghasilkan hadits dan menyebarkan sunnah itu daripada maslahat menghinakannya dan memadamkan perbid’ahannya. Wa-Llahu A’lam.

Ketahuilah bahwasanya telah terdapat dari kelompok yang cacat ada pada kelompok yang lain (yang tidak cacat)[10] disebabkan perbedaan mereka dalam kayakinan-keyakinan, maka hal itu perlu dikajiulang tanpa menduga-duga kecuali dengan hak. Dan seperti itulah sekelompok ulama mencemarkan orang-orang yang wara’, yang mereka masuk pada perkara dunia hingga mereka melemahkan mereka karenanya. Dan tidak ada pengaruh pada pendhaifan tersebut bersama dengan adanya kejujuran dan kekredibelan. Wa-Llahu al-Muwaffiq.

Dan semua hal mengenai ungkapan mendha’ifkan dari kedha’ifan sebagian rawi itu dinggap jauh disebabkan perkara yang mengandung kemungkinan lain atau karena kemungkinan antara qarinah-qarinah. Dan yang lebih keras dari hal itu adalah mendha’ifkan dari dha’ifkan orang yang lebih tsiqah darinya atau lebih tinggi kedudukannya, atau juga lebih mengetahui tentang hadits. Dan seluruh hal ini tidka dapat diungkapkan dengannya. Sungguh aku telah membuat suatu fashal tersendiri yang telah aku rinci nama-nama orang yang dianggap cacat dari rawi-rawi al-Bukhari bersama cerita kecacatannya itu, menyelidiki penyebabnya, serta mendirikan jawabannya, juga memberi catatan atas aspek penolakannya pada sifat yang telah kami dahulukan pada hadits-hadits cacat dengan pertolongan Allah ta’ala serta taufiq-Nya.

Selanjutnya, mari kita teliti seluruh rawi-rawi Syi’ah atau yang diduga Syi’ahpun tak luput dari pengamatan, yang ada di dalam shahih al-Bukhari dengan penilaian yang seadil-adilnya dan sebijak-bijaknya. Sebagai berikut[11] :

1.     Ishaq bin Suwaid bin Hubairah al-‘Adawiy[12]. Ibnu Ma’in, an-Nasaaiy dan al-‘Ajaliy telah menganggapnya tsiqah dan mengatakan ia lebih condong kepada Ali bin Abi Thalib. Abu al-‘Arab menyebut namanya di dalam adh-Dhu’afaa’, lalu mengatakan; siapa yang tidak mencintai seluruh sahabat maka bukanlah seorang tsiqah maupun memiliki karamah.
Aku (Ibnu Hajar) mengatakan : Ada satu hadits baginya di dalam al-Bukhari pada kitab ash-Shiyaam[13] sebagai penyerta Khalid al-Hadzaa’[14]. Imam Muslim, Abu Daud dan an-Nasaaiy telah meriwayatkan darinya.

2.     Sa’id bin ‘Amr bin Asywa’ al-Kuufiy[15]. Seorang faqih. Ibnu Ma’in, an-Nasaaiy, al-‘Ajaliy dan Ishaq bin Rahawaih telah menganggapnya tsiqah. Adapun Abu Ishaq al-Jauzajaaniy mengatakan bahwa ia itu condong dan berlebihan dalam ke-Syia’ahannya.
Aku mengatakan : Justru al-Jauzajaaniy[16] condong pada Nashibi, maka hal ini menjadi pertentangan.  Sungguh Imam al-Bukhari dan Muslim serta at-Tirmidziy telah menjadikan hujjah dengannya. Ada dua hadits yang beliau riwayatkan darinya[17], salah satunya menjadi mutabi’.

3.     Sa’id bin Fairuz Abu al-Bukhturi ath-Thaaiy[18]. Ia terkenal di kalangan para tabi’in. Ibnu Ma’in, Abu Zur’ah dan al-‘Ajaliy menganggapnya tsiqah dan mengatakan bahwa ia Syi’ah. Abu Daud mengatakan ia tidak mendengar dari Abu Sa’id al-Khudriy. Ibnu Ma’in mengatakan ia tidak mendengar dari Ali. Abu Hatim mengatakan riwayatnya dari Abu Dzar, Umar, Aisyah dan Zaid bin Tsabit radhiya-Llahu ‘anhum itu mursal[19] dan ia pun tidak mendengar dari Rafi’ bin Khudaij. Ibnu Sa’ad pun mengatakan bahwa ia itu banyak meriwayatkan hadits dan juga banyak memursalkannya. Maka haditsnya secara sima’ itu hasan. Jika dari yang lainnya maka dha’if.
Aku mengatakan : Imam al-Bukhari hanya mengeluarkan satu hadits saja darinya, dari Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas secara bersamaan, yang beliau menegaskan sima’-nya[20]. Dan perawi hadits lainnya berhujjah dengan riwayatnya.[21]

4.     Abdu ar-Razzaq bin Hammam bin Nafi’ al-Himyariy ash-Shan’aniy[22]. Salah seorang Hafizh dan Atsbat, seorang penulis. Seluruh imam hadits telah menganggapnya tsiqah, kecuali al-‘Abbas bin Abd al-‘Azhiem al-‘Anbariy saja. Ia mengomentari dengan komentar yang gegabah, yang tidak disetujui oleh siapapun. Abu Zur’ah ad-Dimasyqiy mengatakan, Imam Ahmad pernah ditanya siapakah yang lebih atsbat pada riwayat Ibnu Juraij, Abdu ar-Razzaq atau Muhammad bin Bakr al-Bursaniy? Beliau menjawab, Abdu ar-Razzaq. Abbas ad-Dauriy mengatakan dari Ibnu Ma’in, adalah Abdu ar-Razzaq lebih kuat pda hadits Ma’mar dari Hisyam bin Yusuf. Ya’qub bin Syaibah mengatakan dari Ali bin al-Madiniy ia mengatakan, Hisyam bin Yusuf berkata kepadaku bahwa Abdu ar-Razzaq adalah yang lebih tau dan lebih hafal di antara kami. Ya’qub mengatakan (padahal) kedua-duanya (Hisyam bin Yusuf dan Abdu ar-Razzaq) adalah tsiqah dan tsabat. Adz-Dzuhliy mengatakan ia lebih melek dalam hadits dan hafizh. Ibnu ‘Adiy mengatakan; para tsiqah dari kaum muslimin berdatangan kepadanya  dan menulis hadits darinya, akan tetapi mereka menisbahkan dirinya seorang Syia’ah dan itu adalah hal yang paling besar yang mereka cemoohkan padanya. Adapun kejujuran maka aku harap bahwasanya ia tidak mengapa. An-Nasaaiy mengatakan dirinya perlu ditinjau ulang bagi orang yang menuliskan darinya dengan akhir yang mereka tuliskan darinya berupa hadits-hadits munkar[23]. Al-Atsram mengatakan dari Imam Ahmad, siapa yang mendengar darinya setelah ia buta maka tidak dapat diterima.  Dan yang ada di dalam kitab-kitabnya, maka itu sah. Yang tidak terdapat di dalam kitab-kitabnya, maka ia itu didikte dan mendiktekannya.

Aku mengatakan : Imam al-Bukhari dan Muslim telah berhujjah dengannya pada sejumlah hadits orang yang mendengar darinya sebelum tercampur. Dan penguat hal itu ialah orang yang mendengar darinya itu ialah sebelum tahun dua ratus Hijriyyah, adapun setelahnya maka sungguh ia telah berubah. Pada tahun di mana ia telah berubah Ahmad bin Syabawaih mendengar darinya pada apa yang telah dikisahkan oleh al-Atsram dari Ahmad, Ishaq ad-Dairiy dan sekelompok guru Abu ‘Awanah dan ath-Thabraniy dari  orang yang terakhir sampai mendekati 280 H. Serta sisanya meriwayatkan darinya.[24]

5.     Ubaidullah bin Musa bin Abi al-Mukhtar al-‘Absiy[25]. Pemimpin mereka adalah Abu Muhammad al-Kuufiy salah seorang pembesar guru Imam al-Bukhari.  Ia mendengar dari sekolompok tabi’in. Ibnu Ma’in, Abu Hatim, al-‘Ajaliy, ‘Utsman bin Abi Syaibah dan yang lainnya telah men-tsiqah-kannya. Ibnu Sa’ad mengatakan bahwa ia itu seorang tsiqah dan jujur, baik keadaannya, namun seorang Syi’ah. Ia meriwayatkan hadits-hadits mengenai syia’ah secara munkar dan didhaifkan karenannya menurut kebanyakan ulama. Imam Ahmad menganggap cacat berlebihannya dalam Syi’ah bersamaan dengan sifat zuhud dan ahli ibadah yang dimilikinya. Abu Hatim mengatakan ia itu lebih tsabat dalam riwayat Israil. Ibnu Ma’in mengatakan ia memiliki Jami’ Sufyan namun dianggap dha’if padanya.
Aku mengatakan : Imam al-Bukhari tidak meriwayatkan satu pun haditsnya dari ats-Tsauriy[26] dan sisanya berhujjah dengannya.

6.     Ali bin al-Ja’d bin ‘Ubaid al-Jauhariy Abu al-Hasan al-Baghdadiy[27] salah seorang hafizh[28]. Yahya bin Ma’in mengatakan tidak ada seorang rawi dari Baghdad yang lebih tsabat meriwayatkan dari Syu’bah daripada Ali bin al-Ja’d. Lalu seseorang bertanya padanya,  bahkan Abu an-Nadhr dan Syababah? Beliau menjawab, tidak pula Abu an-Nadhr dan Syababah. Abu Hatim mengatakan, aku tidak pernah melihat satu pun muhaddits yang meriwayatkan hadits dengan satu lafazh tanpa mengubahnya selain Ali bin al-Ja’d, dan beliau menyebutkan yang lainnya pula. Sebagian ulama yang lain menganggapnya tsiqah, sedangkan Imam Ahmad memperbincangkannya karena ke-Syi’ah-annya dan karena sikap abstainnya terhadap al-Quran[29].
Aku mengatakan : al-Bukhari meriwayatkan haditsnya dari jalur Syu’bah[30] saja hadits-hadits yang mudah. Imam Abu Daud juga meriwayatkan darinya.

7.     ‘Auf bin Abi Jamilah al-A’rabiy al-Bashriy Abu Sahl al-Hijriy[31]. Imam Ahmad dan Ibnu Ma’in telah mentsiqahkannya. An-Nasaaiy mengatakan ia tsiqah dan tsabat. Muhammad bin Abdillah al-Anshari mengatakan ia adalah yang paling tsabat, akan tetapi ia seorang qadariyyah. Ibnu al-Mubarak metakan ia Qadariyyah dan Syi’ah.
Aku mengatakan : Semua muhaddits berhujjah dengannya[32]. Imam Muslim mengatakan di dalam muqaddimah kitab Shahihnya, apabila aku menyertakan qarinah-qarinah seperti Ibnu ‘Aun dan Ayub bersama ‘Auf bin Abi Jamilah dan Asy’ats al-Hamraniy sedang keduanya adalah murdi al-Hasan dan Ibnu Sirin sebagaimana Ibnu ‘Aun dan Ayub adalah murid keduanya. Adalah keutamaan antara keduanya dan kedua hal ini jauh sekali dalam kesempurnaan keutamaan dan sahnya penukilan, meski ‘Auf dan Asy’ats tidak tertolak dari kejujuran dan amanah.

8.     Muhammad bin Jahadah al-Kuufiy[33]. Imam Ahmad dan sekelompok Muhaddits telah mentsiqahkannya. Dan sebagian lain memperbincangkannya karena ucapan Abu ‘Awanah : ia seorang Syi’ah.
Aku mengatakan : seluruh Muhaddits telah berhujjah dengannya. Dan tidak ada riwayatnya di dalam al-Bukhari kecuali dua hadits[34] yang tidak berhubungan dengan madzhab apapun.

9.     Muhammad bin Fudhail bin Ghazawan al-Kuufiy Abu ‘Abdirrahman adh-Dhabiy[35]. Salah seorang guru Imam Ahmad dan ia mempunyai kitab-kitab. Al-‘Ajaliy dan Ibnu Ma’in telah mentsiqahkannya. Imam Ahmad mengatakan ia seorang Syi’ah namun baik haditsnya. Abu Zur’ah mengatakan ia jujur bagian dari ahli ilmu. An-Nasaaiy mengatakan riwayatnya tidak mengapa. Ibnu Sa’ad mengatakan ia tsiqah dan banyak meriwayatkan hadits serta seorang Syi’ah sedang sebagia ulama tidak berhujjah dengannya.

Aku mengatakan : hanyalah dipermasalahkan ialah masalah ke-Syi’ahannya. Ahmad bin Ali al-Abbar mengatakan telah menceritakan kepada kami Abu Hasyim aku mendengar Ibnu Fudhail (Muhammad bin Fudhail) mengatakan : Semoga Allah merahmati ‘Utsman dan semoga Allah tidak memberikan rahmat kepada orang yang tidak mengasihi ‘Utsman dan aku melihat atsar ahl as-Sunnah dan al-Jama’ah semoga Allah merahmatinya[36]. Al-Jama’ah pun berhujjah dengannya.
           
Hanya ada 9 (sembilan) rawi Syi’ah yang ada di dalam shahih al-Bukhari yang berhasil kami identifikasi. Tinggal terakhir sikap kita dalam menyikapi perawi Syi’ah yang diungkap oleh Ibnu Hajar sebagai berikut[37] :

Dan dari penjelas tadi, jelaslah siapa yang layak dari mereka dan yang tidak untuk dijadikan hujjah itu ada dua bagian:
Pertama; Kedhaifan disebabkan keyakinan. Sungguh telah kami kemukakan hukumnya dan telah kami jelaskan biografi masing-masing mereka bahwa mereka tidak mengajak dan bertobat atau riwayatnya saling membantu sebagai mutabi.[38]
            Wa-Llahu A’lam.[39]




[1] Cet. Daar el-Hadits, Kairo, Mesir. Tahun terbit : 2004. Ukuran : 17x24 cm.
[2] Sebelumnya Ibnu Hajar menyampaikan terlebih dahulu lima hal yang dapat membuat hadits dari segi sanad tertolak periwayatannya, yaitu :
a.      Pelaku bid’ah
b.      Keliru
c.       Menyelisihi mayoritas shahih
d.      Majhul al-haal
e.      Anggapan terputusnya sanad dengan adanya tadlis atau irsal. (lihat; Hady as-Saariy : 513).
[3] Yang dimaksud di sini ialah tidak menjadi alasan orang yang jelas-jelas melakukan tindakan kekafiran di dunia untuk langsung memvonisnya kafir. Adapun benar atau tidaknya itu baru dikembalikan kepada Allah pada hari kiamat. Karena tugas kita ialah menilai sesuatu yang lahir bukan yang batin. Wa hisabuhum ‘ala-Llah.
[4] Riwayat Bukhari dan Muslim, atau yang semisal dengan metode mereka dalam menilai hadits.
[5] Orang-orang yang melakukan separatis pada kekuasaan kaum muslimin yang sah. Keterangan lebih lanjut bisa membaca buku Islam Tanpa Sesat karya Dr. Nashruddin Syarif M.Ag.
[6] Harga diri, lafazh lain dari muruwwah. (baca: Antara Wanita, Perempuan dan an-Nisaa’).
[7] Kriteria yang pertama ialah pelaku bid’ah dan yang kedua ialah jujur dalam meriwayatkan hadits.
[8] Yang mengatakan bolehnya menerima riwayat pelaku bid’ah yang jujur dan tidak mengajak pada perbid’ahannya.
[9] Maksudnya, pelaku bid’ah yang riwayatnya disepekati oleh orang lain itu tidak perlu dihiraukan akan perbid’ahannya. Karena secara tidak langsung ia telah memadamkan bid’ahnya sendiri dengan riwayatnya, riwayat yang diterima.
[10] Menurut ulama yang lain
[11] Ibid. Hal. 520, 542, 560, 565, 574, 578, 584, dan 589.
[12] الاسم : إسحاق بن سويد بن هبيرة العدوى التميمى البصرى ( عم أبى نعامة العدوى عمرو بن عيسى بن سويد بن هبيرة )
الطبقة :  3  : من الوسطى من التابعين
الوفاة :  131 هـ
روى له :  خ م د س  ( البخاري - مسلم - أبو داود - النسائي )
رتبته عند ابن حجر :  صدوق تكلم فيه للنصب
رتبته عند الذهبي :  لم يذكرها
[13] Bab Syahraa ‘Ied laa Yanqushaan.
[14] Hadits yang dimaksud ialah sebagai berikut :
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا مُعْتَمِرٌ قَالَ سَمِعْتُ إِسْحَاقَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ أَبِى بَكْرَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - . وَحَدَّثَنِى مُسَدَّدٌ حَدَّثَنَا مُعْتَمِرٌ عَنْ خَالِدٍ الْحَذَّاءِ قَالَ أَخْبَرَنِى عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ أَبِى بَكْرَةَ عَنْ أَبِيهِ - رضى الله عنه - عَنِ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - قَالَ « شَهْرَانِ لاَ يَنْقُصَانِ شَهْرَا عِيدٍ رَمَضَانُ وَذُو الْحَجَّةِ » .
Imam al-Bukhari lebih memilih jalur Khalid al-Hadzaa’ karena lebih sesuai dengan judul bab yang beliau buat.  (lihat; Fath al-Baariy Kitab ash-Shiyaam Bab Syahraa ‘Ied laa Yanqushaan). Bila seandainya riwayat dari Ishaq ini tertolak karena dituduh “Syi’ah”, maka justru jalur periwayatan yang dipakai ialah jalur Khalid.
[15] الاسم : سعيد بن عمرو بن أشوع الهمدانى الكوفى القاضى
الطبقة :  6  : من الذين عاصروا صغارالتابعين
الوفاة :  120 هـ تقريبا
روى له :  خ م ت  ( البخاري - مسلم - الترمذي )
رتبته عند ابن حجر :  ثقة رمى بالتشيع
رتبته عند الذهبي :  ثقة
[16] الاسم : إبراهيم بن يعقوب بن إسحاق السعدى ، أبو إسحاق الجوزجانى ( سكن دمشق )
الطبقة :  11 : أوساط الآخذين عن تبع الأتباع
الوفاة :  259 هـ بـ دمشق
روى له :  د ت س  ( أبو داود - الترمذي - النسائي )
رتبته عند ابن حجر :  ثقة حافظ رمى بالنصب
رتبته عند الذهبي :  الحافظ
[17] Yaitu di dalam Kitab az-Zakaat Bab Laa Yas-aluuna an-Naasa Ilhaafaa dan sebagai mutabi’-nya terdapat di dalam Kitab asy-Syahaadat Bab Man Amara bi-Njaaz al-Wa’di. Dan bila seandainya riwayatnya tertolak karena ke-Syi’ahannya, maka masih ada jalur lain yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan ath-Thabraaniy. 
[18] الاسم : سعيد بن فيروز ، و هو سعيد بن أبى عمران ، أبو البخترى الطائى مولاهم الكوفى
الطبقة :  3  : من الوسطى من التابعين
الوفاة :  83 هـ
روى له :  خ م د ت س ق  ( البخاري - مسلم - أبو داود - الترمذي - النسائي - ابن ماجه )
رتبته عند ابن حجر :  ثقة ثبت ، فيه تشيع قليل ، كثير الإرسال
رتبته عند الذهبي :  قال حبيب بن أبى ثابت : كان أعلمنا و أفقهنا
[19] Mursal ialah yang terputus dari akhir sanadnya orang yang setelah tabi’in (lihat; Taisier al-Mushthalah al-Hadits, hal. 71).
[20] Kitab as-Salam, Bab as-Salam ilaa Man Laysa ‘indahu Ashl. Di mana pada lafazh tersebut jelas, Abu al-Bukhturiy mengungkapkan, “Aku bertanya pada Ibnu ‘Abbas.”
[21] Bila saja riwayat hadits ini masih tertolak, masih ada jalur dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
[22] الاسم : عبد الرزاق بن همام بن نافع الحميرى مولاهم ، اليمانى ، أبو بكر الصنعانى
المولد :  126 هـ
الطبقة :  9  : من صغار أتباع التابعين
الوفاة :  211 هـ
روى له :  خ م د ت س ق  ( البخاري - مسلم - أبو داود - الترمذي - النسائي - ابن ماجه )
رتبته عند ابن حجر :  ثقة حافظ مصنف شهير عمى فى آخر عمره فتغير ، و كان يتشيع
رتبته عند الذهبي :  أحد الأعلام ، صنف التصانيف
[23] Ialah suatu hadits yang di dalam sanadnya terdapat rawi yang keji kekeliruannya atau banyak lalai atau nampak kefasikannya.
[24] Banyak sekali orang yang meriwayatkan darinya, hingga saya pun tidak bisa menghitung ada berapa haditsnya di dalam shahih al-Bukhari. Pokoknya banyak.
[25] Klasifikasinya telah disebutkan sebelumnya, lihat hal. 9
[26] Maksudnya ialah tidak ada riwayat Ubaidullah yang bersumber dari Sufyan ats-Tsauriy. Karena al-Bukhari meriwayatkan hadits darinya sekitar 39 hadits.
[27] الاسم : عبد الرحمن بن صالح الأزدى العتكى ، أبو صالح ، و يقال أبو محمد ، الكوفى ( سكن بغداد فى جوار على بن الجعد )
الطبقة :  10 : كبارالآخذين عن تبع الأتباع
الوفاة :  235 هـ
روى له :  س  ( النسائي )
رتبته عند ابن حجر :  صدوق يتشيع
رتبته عند الذهبي :  . . . .
[28] Yang dimaksud dengan al-hafizh yang sering disebutkan, maksudnya bukan orang yang hanya hafal al-Quran. Tapi orang yang hafal 100.000 hadits plus sanadnya, seperti al-Hafizh Ibnu Hajar dan Ibnu Katsir.
[29] Yaitu tentang apakah al-Quran itu makhluk atau bukan. Supra footnote no. 1 hal. 574.
[30] Ada sekitar 14 hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari melalui Ali al-Ja’d, dan kesemuanya bersumber dari Syu’bah.
[31] الاسم : عوف بن أبى جميلة العبدى الهجرى ، أبو سهل البصرى ، المعروف بالأعرابى ( و لم يكن أعرابيا )
المولد :  60 هـ أو 61 هـ
الطبقة :  6  : من الذين عاصروا صغارالتابعين
الوفاة :  146 هـ أو 147 هـ
روى له :  خ م د ت س ق  ( البخاري - مسلم - أبو داود - الترمذي - النسائي - ابن ماجه )
رتبته عند ابن حجر :  ثقة رمى بالقدر و بالتشيع
رتبته عند الذهبي :  قال النسائى : ثقة ثبت
[32] Banyak sekali hadits yang bersumber dari ‘Auf bin Abi Jamilah.
[33] الاسم : محمد بن جحادة ، الأودى و يقال الإيامى ، الكوفى
الطبقة :  5  : من صغار التابعين
الوفاة :  131 هـ
روى له :  خ م د ت س ق  ( البخاري - مسلم - أبو داود - الترمذي - النسائي - ابن ماجه )
رتبته عند ابن حجر :  ثقة
رتبته عند الذهبي :  ثقة
[34] Imam al-Bukhari mencantumkan tiga hadits. Dua hadits sama redaksinya. Yang satu Bab Kasb al-Baghiy wa al-Imaa’, yang satunya lagi Bab Mahr al-Baghiy wa an-Nikah al-Fasid.
[35] الاسم : محمد بن فضيل بن غزوان بن جرير الضبى مولاهم ، أبو عبد الرحمن الكوفى
الطبقة :  9  : من صغار أتباع التابعين
الوفاة :  295 هـ
روى له :  خ م د ت س ق  ( البخاري - مسلم - أبو داود - الترمذي - النسائي - ابن ماجه )
رتبته عند ابن حجر :  صدوق عارف رمى بالتشيع
رتبته عند الذهبي :  ثقة شيعى
[36] Inilah salah satu penelusuran yang dilakukan Ibnu Hajar sebagai tuduhan Syi’ah yang dialamatkan kepada Muhammad bin Fudhail sebagai klarifikasi.
[37] Hady as-Saariy, hal. 613
[38] Dan hipotesa lain mengapa Imam al-Bukhari mengutip hadits dari seorang Syi’ah, Qadariyah, Murjiah dan lain-lain yang aqidahnya menyimpang ialah menjaga keobjektifitasan hadits berdasarkan periwayatan yang jujur. Karena pemahaman dan keyakinan yang salah itu bukan berarti hanya karena bersumber dari data yang salah, tapi bisa juga data yang otentik namun salah memahami. Wa-Llahu a’lam.
[39] Pada halaman 91-92 diterangkan oleh Syi’ah menurut Syi’ah bahwa Ahl as-Sunnah menerima riwayat seorang Rafidhah dengan menukil pendapat adz-Dzahabi yang membolehkan menerima periwayatan Rafidhah asalkan tidak melakukan Bid’ah besar. Namun, tidak disebutkan kriteria atau syarat diterimannya riwayat tersebut seperti yang telah dikemukakan di atas. Hal ini entah memang mereka belum pernah membaca Hady as-Saariy atau mungkin sebuah penggelapan data agar maknanya menjadi kabur.
Dan lebih lucunya lagi, mereka mengatakan, “Padahal sebagaimana telah kita ketahui bersama, bahwa setiap jenis bidah adalah kesesatan.” APAKAH SYI’AH BUKAN BID’AH?!
Share on Google Plus

Penulis : Unknown

Mari membaca artikel lainnya dibawah ini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment