INI CINTA


CINTA (baca : c
é i én té a), cerita indah tiada tara atau cerita ini nanti tak ada. Begitulah kiranya para muda-mudi sampai remaja-remaji sekarang yang sedang kasmaran mengidentifikasikan cinta, bahkan sampai berani mengeluarkan statement bahwa cinta itu aku dan kamu. Tapi  mungkin bagi yang sudah merasakan asin garamnya cinta mengartikan bahwa cinta itu pembodohan, cinta itu menjerumuskan, cinta itu menyakitkan, cinta itu perih jendral ... Dan bagi yang belum pernah merasakan cinta mengartikan bahwa cinta itu apa yah? Sebenarnya seperti apakah bentuk cinta itu sampai ada cinta segi tiga, segi empat dan segitunya. Jendral Tiempeng alias cu pat kay mengatakan bahwa cinta adalah penderitaan tiada akhir. Tapi itu menurut pendapat sang babi, berbeda lagi dengan saudaranya sang monyet, bahwa cinta itu hanya untuk kesenangan sesaat semata (cinta monyet ngarana). Makin penasaran kan dengan pembahasan kali ini? Mari kita simak penuturannya sebagai berikut :

               Jika bicara tentang cinta, izinkan Kami berkisah tentang perjalanan cinta seorang anak Parsi, Salman al-Faarisiy, yang mengarungi samudera pencarian cintanya dalam kebenaran ilahi. Meski ruang dan waktu terlampau jauh untuk menemukan cintanya yang hakiki.

               Sesuai laqab-nya, ia adalah keturunan dari bangsa pemuja api, bahkan ayahnya pun adalah tokoh Majusi. Fitrah ilahi mempertanyakan kenapa harus api yang disembah? Kenapa bukan Sang Pencipta api itu sendiri yang mesti disembah? Maka jawaban dari sang ayah serupa dengan jawaban Firaun terhadap Musa alaihi as-Salaam, Sungguh jika kamu menyembah Tuhan selain aku, benar-benar aku akan menjadikan kamu salah seorang yang dipenjarakan.” (Q.S. asy-Syu’araa’ : 29).[1] Dan Salman pun mendekap di balik jeruji rumahnya sembari kaki terantai.

               Singkat cerita, Salman berhasil meloloskan diri dan berkelana mencari Sang Khaliq kepada setiap pendeta-pendeta Nashraniy. Ia menempuh jarak ribuan kilometer  dari kampung halamannya menyusuri jejak kebenaran. Hingga ia betemu dengan pendeta terakhir yang mengabarkan bahwa waktu kedatangan sang Rasul terakhir sudah dekat, maka temuilah sang utusan terakhir tersebut di balik rerimbunan pohon kurma.

               Satu-satunya kota yang banyak ditumbuhi pohon kurma adalah Madinah. Salman pun bergegas mencari informasi tentang kafilah Arab yang berniaga ke Syam, yang akan pulang melintasi Madinah. Ia rela membayar mereka dengan semua harta miliknya agar bisa ke sana, demi bertemu dengan sang Nabi.

               Namun, nasib malang menimpa Salman. Ketika ia telah sampai di Madinah, ia malah dijual kepada seorang Yahudi dan dijadikan sebagai budak. Dalam penantiannya, Salman tak kenal lelah untuk mencari informansi tentang Nabi yang dijanjikan itu. Hingga akhirnya Allah mempertemukan Salman dengan seorang yang ia idam-idamkan sejak lama, Rasulullah shalla-Llahu ‘alaihi wa sallam.[2]

               Cinta bagaimana pun lamanya, masih akan tetap menunggu. Dan cinta bagaimana pun jauhnya, masih akan tetap mencari. Cinta tak terpisahkan oleh ruang dan waktu.
               Tak sampai di sana kisah tentang Salman. Suatu ketika, Salman jatuh cinta kepada seorang muslimah dari kaum Anshar, sebut saja Fulaanah. Meski Salman mempunyai tekad yang amat kuat, ia tetap mempunyai rasa malu terhadap wanita, apalagi tradisi Fulaanah dan Salman berbeda. Maka, Salman pun meminta bantuan sahabat Ansharnya, Abu Darda’, agar menjadi “makcomblang” Salman untuk melamar Fulaanah.

               Singkat cerita, Salman pun pergi bersama Abu Darda’ ke rumah orang tua Fulaanah dengan niat melamar. Pembicaraan pun dimulai, Abu Darda’ menyampaikan niat baik Salman. Namun, suara bisik terdengar di balik hijab, Fulaanah berbisik kepada ibunya. Dan alangkah kagetnya Salman dan Abu Darda’ ketika sang ibu mengucapkan pesan anaknya, “Untuk lamaran Salman kami tolak.” Berat dan sakit dirasakan oleh Salman mendengar hal itu. Tapi, belum juga rasa sakit itu hilang, sang ibu melanjutkan, “Tapi bila Abu Darda’ yang melamar, maka kami terima.” Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Sakitnya tuh di sini.

               Tapi dengan tenangnya, Salman hanya menjawab, “Seluruh biaya pernikahan saya yang tanggung.”[3] Sebuah jawaban yang hanya bisa diucapkan oleh orang yang berhati kesatria dan berjiwa luhur.

               Rasulullah shalla-Llahu’alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga hal yang bila ketiga-tiganya ada pada diri seseorang, maka ia akan merasakan manisnya keimanan ; siapa yang Allah dan Rasul-Nya menjadi yang paling dicintai melebihi kecintaan kepada selain keduanya, mencintai atau tidak mencintai seseorang melainkan karena Allah dan benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya dari kekufuran itu sebagaimana ia benci untuk dilemparkan ke dalam neraka.[4]

               Dan sabda beliau, “Tidak beriman salah seorang di antaramu sehingga ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri.[5]

               Sadarkah, bahwa kenapa Salman rela menempuh jarak yang jauh dan menanti sekian lama adalah dikarenakan kecintaannya yang amat tinggi kepada Allah dan Rasul-Nya melebihi yang lain. Dan kenapa ia dapat merelakan wanita yang disukainya kepada saudaranya ialah karena ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri. Cinta yang dibangun atas cinta, cinta yang dibangun atas dasar keimanan. Subhaana-Llah, INI CINTA.



[1] Al-Fawaaid : 40
[2] Siyaru A’laam an-Nubalaa’ : I/186-188. Lihat pula : Renungan Tarikh : 273
[3] Jalan Cinta Para Pejuang : . untuk halaman lebih tepatnya, penulis kehilangan buku tersebut.
[4] Shahih al-Bukhari Kitab al-Iman Bab Halaawah al-Iman, dan Muslim Kitab al-Iman Bab Bayan Khishaal man ittashafa bihinna wajada halaawah al-Iman.
[5] Al-Bukhari : Kitab al-Iman Bab min al-Iman an yuhibba li akhiehi maa yuhibbu linafsihi. Muslim : Kitab al-Iman Bab ad-Dalil ‘alaa anna min khishaal al-Iman an yuhibba li akhieh al-muslim maa yuhibbu linafsihi min al-khair.
Share on Google Plus

Penulis : Unknown

Mari membaca artikel lainnya dibawah ini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment