“Keur naon sakola luhur-luhur, awéwé mah tungtungna ngurus sumur, dapur, jeung kasur.” (Buat apa sekolah tinggi-tinggi, wanita ujung-ujungnya mengurus sumur, dapur, dan kasur). Wanita dianggap dikekang dalam satu “penjara” tak berjeruji hanya untuk mengurusi urusan-urusan ibu rumah tangga. Selebihnya untuk urusan di luar hal tersebut diserahkan pada laki-laki yang dianggap lebih superior dari wanita. Wanita dianggap lemah dari dua sisi; kekuatan dan pemikiran. Hingga wanita dianggap tak perlu mengenyam pendidikan.
“Seorang anak berhak lahir dari rahim ibu yang
cerdas.” Melalui beberapa perjuangan, harkat dan derajat wanitapun terangkat
hingga ke taraf yang lebih baik, bahkan setara dengan laki-laki. Pendidikan
tidak hanya diprioritas-kan bagi laki-laki saja, wanitapun bisa melampaui
laki-laki dalam mengenyam pendidikan. Tidak ada lagi istilah heureut léngkah
bagi wanita dalam menggapai cita-cita yang dulu hanya bisa dicapai oleh
laki-laki.
Namun, akibat dari perkembangan zaman dan
rezim yang berlaku, wanita yang telah mendapatkan kemerdekaannya untuk
mengenyam pendidikan, malah digiring untuk ikut terjun ke ranah industri. Maka,
terjadilah pergeseran budaya.
Wanita masuk dalam bidang industri tentu
didasari oleh beberapa faktor; 1. Tuntutan ekonomi, 2. Kebijakan pemerintah
(politik), 3. Ideologi. Ketiga formasi sosial tersebut diambil dari pemikiran
Althusser yang mendekonstruksi basis suprastruktur dari Marxisme historis (lih.
Barker, 2005: 51-55).
Formasi sosial yang ada menjembatani
keikutsertaan wanita dalam bidang industri. Bila ditinjau dari tuntutan
ekonomi, tentu wanita diberikan kewenangan untuk mengais rezekinya sendiri.
Tidak harus melulu menerima “setoran” dari sang suami. Dari sisi ideologi,
feminisme menjadi ujung tombak dalam memuluskan langkah wanita lebih berkarya
dan mengaktualisasi dirinya. Sekarang bukan zamannya lagi zaman Siti Nurbaya,
sekarang sudah zamannya Siti Badriyah, Siti Link, dan Siti Bank. Dan ketiga,
yang paling sentral adalah pemerintah. Pemerintahlah yang telah menyediakan “lapak”
yang diinginkan oleh wanita dalam menyuarakan aspirasinya.
Lantas demikian, justru keikutsertaan wanita
di dalam industri menimbulkan polemik. Polemik tersebut adalah ketika wanita
digunakan sebagai alat dari industri. Demi melicinkan distribusi industri,
wanita digunakan sebagai “pelet”. Di satu sisi, wanita diuntungkan dengan
kebebasan dan kesetaraan yang diperoleh dari keikutsertaannya. Tapi, di sisi
lain wanita justru menjadi bahan eksploitasi besar-besaran dari
keikutsertaannya.
Wanita yang berjuang di dalam industri
akhirnya tereduksi ke bagian dalam industri tersebut. Lewat berbagai ajang,
wanita diarahkan pada taraf-taraf dirinya “dijajah” fisiknya secara materi dan
ideologinya secara subtansi. Hal ini bisa terlihat dari pergeseran wanita yang
dulunya sebagai ibu rumah tangga menuju wanita industri. Dunia industri ini
bukannya tidak cocok bagi wanita, tapi rentan terhadap dirinya dan orang-orang
terdekatnya. Demi mendapat kesuksesan di bidang industri, baik sebagai pelaku
maupun agen dari industri, tak pelak mengorbankan jatidirinya sebagai ibu rumah
tangga. Peran wanita dalam industri menggerus peran utamanya sendiri sebagai
seorang wanita, yaitu menjadi seorang ibu. Anak menjadi kurang mendapat kasih
sayang dari ibunya yang sering menitipkan atau bahkan menelantarkannya sama
sekali. Bukan karena wanita keluar dari rumahnya yang jadi masalah, tapi tidak
kembali ke rumahlah yang jadi masalah bagi wanita.
Ibu sebagai wanita yang menjadi madrasatul-ūlā
(sekolah pertama) bagi anak mulai kehilangan perannya. Hingga lahirlah generasi
yang kurang mendapat perhatian hingga menyebabkan dekadensi moral para penerus
bangsa. Itu dikarenakan kurangnya asupan
pendidikan di rumah. Ketiga formasi sosial yang telah disebutkan di atas, yang
menjadi pendobrak bergesernya kebudayan wanita sebagai ibu rumah tangga menjadi
wanita industri, sangat bertanggungjawab atas hal ini.
Sungguh menjadi wanita industri itu bukanlah
bentuk kesetaraan ataupun emansipasi, melainkan semata-mata iming-iming dari
kepentingan industri wanita.
0 comments:
Post a Comment