Tafsir Ar-rasikhuna fil-ilmi
Rusuukh; tetap pada tempatnya. Sedang ar-Raasikh
al-‘Ilmi ialah yang dapat masuk dengan stabil. (Ada juga istilah) “Jabal
Raasikh”; gunung yang kokoh, dan setiap yang tetap itu dinamakan dengan
ar-Raasikh. Di antaranya ar-Raasikhuuna fie-l’Ilmi ini adalah majaz, dikatakan;
mereka adalah orang-orang yang mempelajari al-Quran. Dikatakan; mereka adalah
orang-orang yang hafizh dan selalu berzikir. Masruq pernah mengatakan, “Aku
pernah singgah di Madinah, maka Zaid bin Tsabit adalah termasuk dari orang yang
tetap di dalam keilmuan.” Khalid bin Janbah mengatakan, “ar-Raasikh
fie-l’Ilmi; ilmu yang jauh.”[1]
Dari pengertian di atas ada beberapa hal yang dapat kita ambil yaitu bahwa
kata rasakha/rusuukh itu adalah kata yang mengokohkan atau sesuatu yang kokoh
dan bila diterapkan ke dalam kata benda “air” –misalnya, maka artinya meresap
ke dasar-dasarnya. Adapun bila kata rasakha atau rusuukh itu diterapkan ke dalam
kata yang dibendakan seperti ilmu, maka artinya adalah majaz/kiasan/bagaikan
ilmu yang kokoh, karena ilmu itu adalah sesuatu yang abstrak. Atau seperti
ungkapan, “rasakha hubbuhu fie qalbihi” dapat diartikan sebagai kiasan
terhadap cinta seseorang yang tertancap kuat sampai ke relung hatinya.
Begitulah makna morfologis ar-Raasikh secara mandiri.
Adapun kalimat yang tersusun dari kata-kata “ar-Raasikhuuna fie-l’Ilmi”
ini memiliki makna sintaksis yang berbeda-beda dari definisi para ulama, namun
meskipun begitu artinya masih mutaradifah (saling ber-sinonim), mutaqaribah
(saling mendekati), dan mutadakhilah (silih simbeuh). Dan uniknya bahasa Arab
ialah adanya rumus, “Idza iftaraqa ijtama’a , wa idza ijtama’a iftaraqa”
–bila (artinya) berbeda maka (maknanya) sama, dan bila (artinya) sama maka
(maknanya) berbeda.” Maka dari itu, setelah disajikan perbedaan definisi para
ulama tentang kalimat ini yang maknanya sama, saya akan membahas kembali makna
yang sama tersebut untuk dibedakan satu sama lain dalam rangka sebagai wawasan
keilmuan dan tambahan tersendiri untuk kriteria ar-Raasikhuuna fie-l’Ilmi.
Baik, kita mulai.
Masih merujuk pada kitab Taaj al-‘Uruus yang telah dipaparkan di
atas ada empat kriteria yang diutarakan oleh az-Zubaidiy yang bersumber dari
para ulama, yaitu; 1. Orang yang mempelajari al-Quran, 2. Orang yang hafizh
serta selalu berdzikir, 3. Orang yang seperti Zaid bin Tsabit, dan 4. Memiliki
ilmu yang jauh. Mari kita bahas satu-persatu sebagai berikut;
Pertama; orang yang mempelajari al-Quran. Tentu al-Quran sebagai pusat
keilmuan (lihat; Q.S. an-Nahl : 36) harus dijadikan sebagai pelajaran wajib
bagi ar-Raasikhuuna fie-l’Ilmi. Dan dalam mempelajari al-Quran terdapat
metode-metode yang dapat diketahui yaitu; Iqra’ (bacalah) , Tadabbur (menggali
makna) , Iddikar (mengambil pelajaran) , Tartil (membaca perlahan sambil
dihayati) , Tilawah (membaca dan mengikuti kandungannya) dan Tadarrus (membaca berulang-ulang hingga
hilang dari tulisan, pindah ke akal dan hati).
Dari keenam istilah yang digunakan di atas, dapat diambil satu kesimpulan
bahwa belajar al-Quran itu dimulai dari membaca (tajwid/tahsin), menghafal
(tahfizh, plus mendengarkan/tasmi’), dan memahi kandungan (tafsir) al-Quran.
Ketiga amal itu harus sama-sama diperhatikan, sebab sama-sama diwajibkan.
Jangan sampai ada yang “terperkosa” salah satunya, seperti terlalu fokus pada
tajwid/tahsin sehingga abai pada tafsir, atau terlalu fokus terhafap tafsir
sehingga abai terhadap tahsin dan tahfizh.[2]
Ke-dua; orang yang hafizh serta selalu berdzikir. Hifzh/hafal sendiri
menurut ar-Raaghib berarti keadaan jiwa yang dengannya dapat menetapkan apa
yang dibutuhkan oleh pemahaman, kuatnya sesuatu di dalam jiwa, kebalikan dari
lupa, ataupun menggunakan kekuatan tersebut. Kemudian digunakan pada setiap
mencari, menjamin, dan memperhatikan sesuatu.
Adapun dzikir –masih menurut ar-Raaghib- ialah keadaan jiwa yang
memungkinkan bagi manusia untuk menjaga apa yang menetapinya dari pengetahuan,
dan ia itu seperti hifz namun hifzh itu diungkapkan disebabkan menjaganya.
Sedangkan dzikr itu disebabkan karena menghadirkannya. Dan terkadang pula
dzikir itu dikatakan untuk menghadirkan sesuatu pada hati dan lisan. Oleh
karenanya, dzikir itu ada dua; dzikir hati dan dzikir lisan. Serta setiap
keduanya itu ada dua aspek; karena lupa atau karena tidak lupa (hafal).
Ke-tiga; orang yang seperti Zaid bin Tsabit radhiya-Llahu ‘anhu. Seorang
sahabat yang hijrah ke Madinah sebagai yatim. Namun dia adalah seorang yang
cerdas, pernah Nabi shalla-Llahu ‘alaihi wa sallam untuk belajar bahasa Ibrani,
dan ia dapat menguasainya kurang dari setengah bulan. Dan iapun dipercaya oleh
Rasulullah shalla-Llahu ‘alaihi wa sallam sebagai pencatat wahyu. Bahkan ketika
kekhalifahan Abu Bakar, Zaid bin Tsabitlah yang menelusuri dan mengumpulkan
al-Quran yang semula tercecer di batu, pelepah kurma, dan hafalan para sahabat.[3]
Ke-empat; orang yang jauh ilmunya. Artinya orang yang tidak berfikir pendek.
Memiliki analisa yang mendalam serta tidak tergesa-gesa dalam menyimpulkan. Dan
tentunya memiliki ilmu dan pengetahuan yang luas.
Itulah keempat kriteria menurut para ulama yang harus dimiliki oleh
orang-orang yang “mengaku” sebagai ar-Raasikhuuna fie-l’Ilmi. Bisa salah satu
dari keempat kriteria tersebut atau mungkin harus keempat-empatnya. Wa-Llahu
A’lam.
Terakhir ialah makna semantik (wacana) ar-Raasikhuuna fie-l’Ilmi di dalam
al-Quran yang terdapat di dalam dua ayat di dua surat yang berbeda (Q.S. Ali
Imran : 7 dan an-Nisaa’ : 162), berikut dengan tafsirannya serta penerapannya
pada konteks pelajar, pelajar PERSIS khususnya.
لَكِنِ
الرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ مِنْهُمْ وَالْمُؤْمِنُونَ يُؤْمِنُونَ بِمَا
أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَالْمُقِيمِينَ الصَّلاةَ
وَالْمُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَالْمُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ
أُولَئِكَ سَنُؤْتِيهِمْ أَجْرًا عَظِيمًا
Tetapi orang-orang yang mendalam ilmunya di antara mereka
dan orang-orang mukmin, mereka beriman kepada apa yang telah diturunkan
kepadamu (Al Qur'an), dan apa yang telah diturunkan sebelummu dan orang-orang
yang mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan yang beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Orang-orang itulah yang akan Kami berikan kepada mereka pahala
yang besar. [Q.S. an-Nisaa’ :
162].
Fakhruddin ar-Raaziy di dalam tafsirnya, Mafaatieh al-Ghaib/at-Tafsier
al-Kabier, menyebutkan bahwasanya, “Allah ta’ala memberi sifat kepada mereka
dengan ar-Raasikhuuna fie-l’Ilmi. Maka Dia menjelaskan pertama; keadaan mereka yang
mengetahui hukum-hukum Allah dan mengamalkan hukum-hukum tersebut. Adapun ilmu
mereka tentang huhkum-hukum Allah ialah yang terdapat dalam firman-Nya; (Dan
orang-orang yang beriman mereka beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan
kepadamu dan apa yang diturunkan sebelummu). Adapun amal mereka terhadap
hukum-hukum tersebut ialah yang dimaksud dengan firman-Nya; (dan yang
menegakkan shalat dan menunaikan zakat). Adapun pengkhususan kepada dua amal
tersebut dalam penyebutan ialah keadaan keduanya sebagai ketaatan yang paling
mulia. Shalat adalah ketaatan badaniyyah yang paling mulia, sedang zakat adalah
ketaatan harta yang paling mulia. Lalu setelah Dia menerangkan tentang mereka
yang menge-tahui dan mengamalkan hukum-hukum Allah, Diapun menjelaskan keadaan
mereka yang mengetahui (beriman, pent.) tentang Allah. Dan semulia-mulia
pengetahuan ialah mengetahui tempat asal dan tempat kembali. Dan yang dimaksud
dengan ilmu tentang tempat asal ialah yang dimaksud di dalam firman Allah; (Dan
mereka beriman kepada Allah). Sedang mereka yang mengetahui tentang tempat
kembali ialah yang dimaksud di dalam firman-Nya; (serta hari akhir). Dan
setelah Dia menjelaskan bagian-bagian ini, jelaslah bahwa mereka yang telah
disebutkan ; yang mengetahui dan mengamalkan hukum-hukum Allah serta beriman
kepada Allah dan hari akhir, apabila telah ada ilmu serta pengetahuan ini,
jelas keadaan mereka sebagai ar-Raasikhuuna fie-l’Ilmi. Karena manusia tidak
mungkin melampui tingkatan ini dalam kesempurnaan dan tingginya kedudukan. Kemudian
Diapun menginformasikan tentang mereka dengan firman-Nya; (mereka itulah yang
akan kami beri ganjaran yang besar).[4]
هُوَ الَّذِي
أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ
وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ
فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ
تَأْوِيلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلا اللَّهُ وَالرَّاسِخُونَ فِي
الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ
إِلا أُولُو الألْبَابِ
Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada kamu.
Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al
Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam
hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang
mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal
tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang
mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang
mutasyabihat, semuanya itu dari isi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil
pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. [Q.S. Ali Imran : 7].
Ibnu Katsir di dalam tafsirnya, Tafsier al-Quran al-‘Azhiem, menerangkan
perihal ar-Raasikhuuna fie-l’Ilmi di dalam ayat ini sebagai berikut; Firman-Nya
menjadi informasi tentang mereka (ar-Raasikhuuna fie-l’Ilmi) bahwasanya (mereka
mengatakan kami beriman padanya) yaitu ayat yang mutasyabih. “Semuanya berasal dari Rabb kami”
yaitu seluruh yang ada di dalam muhkam dan mutasyabih adalah hak dan benar.
Kedua-duanya membenarkan dan menjadi saksi satu sama lain, karena semuanya
berasal dari sisi Allah. Dan tidak ada satupun yang berasal dari sisi Allah itu
dipertentangkan dan diperdebatkan, seperti firman Allah dalam surat an-Nisaa’
ayat 82. Oleh karenanya Allah ta’ala berfirman, “Dan tidak ada yang dapat
mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal.”[5]
Selanjutnya Ibnu Katsir memberikan definisi ar-Raasikhuuna fie-l’Ilmi,
yaitu; ar-Raasikhuuna fie-l’Ilmi ialah yang bertawadhu’ kepada Allah, yang
merendah di hadapan Allah dalam ridha-Nya, tidak membanggakan diri di hadapan
orang yang ada di atas mereka, juga tidak merendahkan orang yang ada di bawah
mereka.[6]
Terakhir dari yang terakhir, dari semua yang telah diutarakan di atas dari
mulai pemaknaan secara morfologis, sintaksis hingga semantik dapat kita
simpulkan sebagai berikut dalam konteks pelajar, yaitu; mereka adalah orang
yang terus-menerus belajar untuk menjadi orang yang berilmu dan mengamalkannya
serta senantiasa bertawadhu’ karena atas dasar keimanan pada ayat-ayat muhkam
dan mutasyabih yang telah diturunkan oleh Allah.
Ar-Raasikhuuna fie-l’Ilmi.
0 comments:
Post a Comment