KOMODIFIKASI BENJANG

 

3.1 Bentuk Pertunjukan Benjang

Benjang adalah jenis kesenian tatar sunda yang berkembang di wilayah ujung berung Bandung, selain bentuk aslinya yang merupakan gerakan gelut (gulat) dengan beragam teknik kuncianya, benjang kini juga menampilkan bentuk Ibingan dan Heleran (Surtikanti, 2013: 27).

Benjang pada awalnya merupakan salah satu seni ketangkasan para jawara yang berkembang menjadi seni pertunjukan yang didalamnya terdapat unsur unsur penunjang dalam pertunjukan diantaranya adanya pemain dan musik pengiring Nayaga (wawancara Agus Nurrohman[1], 63 tahun 18 November 2017 di Sekertariat Paguyuban Benjang Indonesia, Ujung Berung).

Kata Benjang berasal dari kata “amben” dan “bujang”. Kata “amben” dalam bahasa Jawa berarti bangunan atau gedung yang terbuat dari bambu, jadi Benjang merupakan permainan bujang (remaja) dalam membangun bela diri yang dilakukan di amben atau dalam bahasa Sunda disebut Bale. Awal mula perkembangan kesenian benjang ini sebagai bentuk permainan tradisional (rakyat) dan merupakan warisan leluhur penduduk Ujung Berung. Seni tradisional Benjang ini berkembang dan diyakini oleh masyarakat Ujung Berung sebagai hasil budaya daerah setempat. Seni tradisional Benjang dari dulu sampai sekarang masih dapat dilihat dan berkembang di daerah Ujung Berung Bandung. Hasil dari beberapa penelitian yang berkaitan dengan Seni Tradisional Benjang ternyata ada beberapa versi yang menjelaskan tentang sejarah asal mula maupun penciptaan olahraga seni Benjang, meskipun didalamnya terdapat perbedaan maupun kesamaan tokoh serta kronologis penciptaan. Seni tradisional Benjang sudah ada dan berkembang sejak abad ke 18 ini dibuktikan dengan adanya cerita dan silsilah yang disampaikan beberapa tokoh Benjang sebagai sejarah penciptaan dan perkembangan seni tradisional Benjang (Sumiarto, 2006: 12).

Benjang pada awalnya berasal dari pesantren sebagai bagian dari syiar agama islam, dari tarebangan oleh karena itu peralatan musik (Nayaga) yang digunakan saat memainkan Benjang hampir serupa dengan alat-alat di pesantren. Saat ini Benjang yang berkembang di masyarakat terbagi kedalam tiga jenis Benjang. Pertama adalah Benjang Gelut sebagai bentuk asli dari kesenian Benjang, kedua Benjang Helaran yang merupakan seni Benjang arak-arakan, dan yang ketika adalah Topeng Benjang yang biasanya di tampilkan dalam panggung pertunjukanya semacam pertunjukan lengser (Sumiarto, 2006: 30).

Pada awalnya seni Benjang dinamakan Dogong.  Dogong adalah suatu permainan saling mendorong dua lawan dengan mempergunakan alu (kayu alat penumbuk padi). Dari Dogong berkembang menjadi Seredan yang memiliki arti permainan saling mendesak tanpa alat, yang kalah dikeluarkan dari arena kemudian dari seredan berubah menjadi adu mundur.

 Benjang adalah seni bela diri yang memiliki gerakan mirip olah raga gulat, karena itulah disebut benjang gulat (gelut dalam Bahasa Sunda). Benjang merupakan suatu bentuk permainan olah raga tradisional yang tergolong pertunjukan rakyat, Benjang adalah jenis kesenian tradisional tatar sunda yang berkembang hingga saat ini (Syarif, 2005: 19).

            Sebelum memulai pembahasan mengenai sejarah Benjang, saya rasa penting untuk dikedepankan bahwa seni Benjang yang berkembang saat ini terbagi menjadi tiga bagian, pertama adalah benjang gulat, kedua Benjang Helaran dan ketiga adalah topeng benjang. Tidak ada yang tau secara pasti kapan seni Benjang dilahirkan, namun berdasarkan wawancara dengan beberapa tokoh benjang dapat diperkirakan bahwa awal cikal bakal kelahiran seni Benjang adalah pertengahan abad ke 19 dan mulai di kenal luas oleh masyarakat pada pertengahan abad ke 20an.

            Menurut Bah Emed[2] bahwa bentuk seni Benjang gulat yang dikenal masyarakat saat ini, baru ada sekitar tahun 1926. Sebelumnya bentuk seni Benjang berupa seredan, dogongan, atau panceran/panciran”[3].

 

 

 

Foto 3.1: Sistematika Kelahiran Benjang

            Sumber: Sumiarto, 2006: 33

 

            Pada masa Pendudukan Jepang (1942-1945)  banyak seniman Benjang yang menghentikan kegiatannya akibat kebijakan pemerintah Jepang yang membatasi setiap kegiatan pengerahan masa. Namun secara umum pertunjukkan Benjang masih bisa digelar walau dengan pengawasan yang ketat, khususnya Benjang Gulat sendiri hanya bisa dilaksanakan pada siang hari.

Memasuki Masa Awal kemerdekaan (1946-1949) suhu politik tidak menentu. Sebagian besar penduduk Ujung Berung mengungsi ke berbagai daerah di Jawa Barat, atau pindah mendekati pusat Kecamatan Ujung Berung dengan alasan keamanan (dampak ini di kemudian hari melahirkan grup-grup Benjang Helaran baru yang berdomisili tidak jauh dari pusat kota kecamatan tersebut). Sebagian para seniman dan jawara Benjang mendaftarkan diri sebagai Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Walau begitu pada tahun 1948.

Foto 3.2: Sistematka Penyebaran Grup Benjang

Sumber: Sumiarto, 2006: 51

 

Pada masa Orde Lama (1950-1965) Selepas Agresi Belanda, penduduk Ujung Berung pulang dari pengungsian, mengakibatkan maraknya kembali kegiatan seni Benjang. Khususnya kegiatan Benjang Helaran makin menyebar ke seluruh pelosok Ujung Berung. Tampilan arak-arakan menjadi lebih ekpresif dan dinamis.

Pada tanggal 15 Maret 1956, Somawidjaja Engkon Sadikin merestorasi kembali paguyuban Benjang Soerja Kontjara dengan nama baru Persatuan Benjang Pencak Silat (PBPS). Hal ini dilakukan untuk menghimpun kembali para tokoh dan seniman Benjang yang sempat tercerai-berai (Sumiarto, 2006: 45)

Menjelang akhir tahun 1950-an terjadi pewarisan pimpinan kelompok Benjang Ciwaru dan Cigupakan. Kelompok Al Wasim mewariskan pengelolaan kelompok mereka pada anak asuh Al Wasim, yaitu Salhasik (Bah Asik). Sedangkan kelompok Cigupakan menyerahkannya pada menantu Asnarif yaitu Sumarta (Bah Ata).

Ditangan Salhasik kelompok ini kurang berkembang sehingga pada tahun 1959, Ama Karma dan Ukria memisahkan diri dari kelompok Al Wasim, dan membentuk kelompok sendiri yang bermarkas di Desa Cipanjalu. Karena letaknya lebih dekat ke Ibukota kecamatan, maka kelompok baru ini maju dengan pesat. Akhirnya pengendalian pengembangan seni Benjang khususnya Benjang Helaran kini bergeser ke kelompok Ama Karma-Ukria dan Sumarta. Praktis kegiatan seni Benjang Helaran memasuki awal tahun 60-an tidak lagi dipegang sepenuhnya oleh kelompok Ciwaru. (Sumiarto, 2006: 47)

Memasuki awal orde baru (1966-1998) frekuensi kegiatan seni Benjang tampak menurun, hingga beberapa kelompok Benjang menghentikan kegiatanya. Berhentinya kegiatan tersebut menjadikan para pemain dari kelompok yang memisahkan diri dan membentuk kelompok-kelompok baru. Kemudian mereka memberi nama baru untuk kelompok yang mereka dirikan.

Pada pertengahan tahun 70-an ini, jampana/tandu tidak digunakan lagi. Sebagai gantinya, anah khitan diarak dengan seekor kuda atau sebuah jampana berbentuk singa. Pada saat itu pada pertunjukan seni Benjang Helaran disertakan pula salah satu jenis kesenian lainya, yaitu seni kuda renggong atau singa depok, yang khusus mengarak anah khitan.

Pada awal tahun 1978, kelompok Darya melakukan inovasi dengan menghadirkan pemain kepang wanita dan membuat jampana bentuk baru yang disebut kuda depok. Jampana ini berbentuk boneka kuda dari kayu merupakan adaptasi perpaduan dari bentuk seni kuda renggong dan singa depok. Usaha ini tidak berlangsung lama karena masyarakat seni ini belum bisa menerima inovasi seperti itu. Kelak usaha menghadirkan kelompok menari kepang wanita diteruskan oleh kelompok Benjang Helaran Mekar Harapan pimpinan Asep K. dari kampung Cigupakan (Sumiarto, 2006: 50)

Terhentinya seni Benjang Gulat yang cukup lama telah mengetuk hati para birokrat. Atas prakarsa Drs. H. Maman Abdurahman (saat itu menjabat sebagai Camat Ujung Berung) dan Ir. H. Farid Muliadi (saat itu menjabat Patih Kotamadya Bandung), pada tanggal 16 Juni 2000 dibentuklah Panguyuban Mitra Seni Benjang Bandung Raya, yang diketuai oleh Aam Amin Santosa, salah seorang tokoh silat Bandung. Panguyuban tersebut berupaya membangkitkan kembali gairah frekuensi seni Benjang khususnya pencabutan larangan pergelaran seni Benjang Gulat yang sudah diterapkan sejak tahun 1977.

Setelah panguyuban tersebut terbentuk, frekuensi pergelaran seni Benjang Gulat mulai marak. Seiring dengan makin berkembangnya kembali seni ini, baik perilaku seni maupun penikmat seni ini mulai mengalami beberapa masalah salah satunya adalah perpecahan. Untuk menghindari hal tersebut pada bulan September 2000 para tokoh Benjang kembali mengadakan pertemuan untuk mendirikan Panguyuban Seni Gulat Tradisional Benjang Kodya Bandung dimana Abdul Gani, tokoh Benjang akhir tahun 1960-an, terpilih menjadi ketuanya (Sumiarto, 2006: 52)

                  Menurut Agus Nurrohman lagi pada tahun 70an Benjang sempat dilarang oleh pemerintah, karena ketika pagelaran Benjang sering kali terjadi keributan antar pada jawara secara internal dan beberapa masalah dari pihak eksternal, salah satu masalah di eksternal adalah masuknya orang orang Yonzipur Ujung Berung (Tentara) ke dalam Benjang Gelut, tentu pertandingan menjadi tidak seimbang dan banyak masyarakat yang protes karena pertandingan Benjang, mengingat para tentara secara dasar penguasaan beladiri nya adalah Judo, sedang Benjang secara tehnik mendekati tehnik gulat, tidak ada pukulan dan tidak boleh merangkul kaki. Perbedaan tehnik dalam bertarung inilah yang menjadi salah satu pemicu dari keributan Benjang hingga memanjang dalam beberapa waktu dan dilarang oleh pemerintah.

                  Pada sekitar tahun 2001 setelah orde baru runtuh dan beralih ke pemerintahan reformasi, larangan terhadap Benjang mulai memiliki keringanan, hal ini memicu para seniman Benjang antar daerah melakukan inisyatif perkumpulan untuk melahirkan kembali Benjang. Pertemuan itu melahirkan titik terang ketika para seniman benjang yang hadir menyetujui membentuk sebuah organisasi formal yang menaungi Benjang, dari perkumpulan itu itu lahirlah Paguyuban Benjang Wilayah Ujung Berung dengan ketuanya Abdul Gani (Saat ini Menjadi Ketua PBI Jawa Barat) lalu perkumpulan itu memicu lahirnya paguyuban di tingkat yang lebih luas hingga ke tingkat kota dan provinsi.

Sejak terbentuknya panguyuban tersebut, mulai bermunculan paguron-paguron Benjang yang melatih para pe-Benjang Gulat, grup-grup Benjang Helaran, serta padepokan-padepokan Benjang, diantaranya: Padepokan Rajawali Biru (Cigending) yang diketuai oleh Drs. Nunu Nugraha M.Si.Padepokan Rajawali Putih (Sukalihah) diketuai oleh Amar, Padepokan Bukit Paratag (Paratag Kulon) yang diketuai oleh Teddy Sy. Yudistiaddy, Sip.

Seiring dengan lahirnya parugon-parugon dan padepokan-padepokan mulai digelar beberapa event penting kegiatan seni Benjang di antaranya:

a.   Festival Benjang Gelut yang merupakan kalender rutin tahunan dari pengurus panguyuban Benjang Kota dan Kabupaten Bandung.

b.  Festival Benjang Gelut se-Jawa Barat yang diselenggarakan oleh pengurus Benjang Gelut jawa Barat.     

c.   Festival Benjang Helaran se-Bandung Raya yang diselenggarakan oleh Konsorsium Mahasiswa Ujung Berung.

d.   Festival Benjang Anak 2001 yang diselenggarakan oleh komponen ormas pemuda dan masyarakat kampus yang tergabung dalam “Pemuda Peduli Benjang”

e.   Gelar Seni Benjang di Alun-alun Ujung Berung yang diselenggarakan dua minggu sekali oleh BKPMK Ujung Berung bekerja sama dengan Disbudpar Kota Bandung

f.   Gelar Benjang di setiap padepokan dan paguron

Pada tanggal 12-13 September 2003. Pengurus Panguyuban Seni Benjang Gulat Tradisional Kota Bandung memprakarsai terselenggaranya MUSDA (Musyawarah Daerah) Seni Benjang Gelut se-Jawa Barat dengan hasil berupa kesepakatan mengangkat Drs. H. Uu Rukmana, tokoh silat dan juga merupakan sesepuh Benjang, sebagai Ketua Umum dan Drs. Adang Segara sebagai Ketua Harian. Pada MUSDA itu mengukuhkan dengan pasti kedudukan seni Benjang Gelut masuk dalam binaan PGSI (Persatuan Gulat Seluruh Indonesia) Jawa Barat yang merupakan cabang induk organisasi KONI (Komite Olahraga Nasional Indonesia) Jawa Barat

Saat ini Benjang yang ada di Ujung Berung mengalami banyak perubahan, tercatatat Benjang yang pada masa awalnya adalah seni beladiri yang disertai dengan iringan musik (waditra) kini telah berkembang jenis Benjang lainya, selain Benjang gelut kini ada juga Benjang yang berbentuk Topeng Benjang dan Benjang Heleran.

Diantara ketiga jenis Benjang ini, Benjang Heleran yang menjadi primadona dan masih cukup sering di pagelarkan di acara-acara kecamatan atau dipertontonkan oleh lingkung seni yang ada di wilayah Ujung Berung. Saat ini Benjang Heleran lebih dikenal oleh masyarakat Ujung Berung, meskipun sebenarnya Benjang Gelut lah yang sebenarnya merupakan bentuk asli dari Benjang.

Berikut saya uraikan kondisi faktual benjang yang ada pada saat ini, mulai dari Benjang Gelut, Benjang Heleran dan Topeng Benjang untuk melihat perubahan yang terjadi pada kesenian Benjang di Ujung Berung.

 

3.1.1 Benjang Gelut

Benjang Gelut adalah kesenian Benjang yang berbentuk berupa kesenian bela diri seperti pencak silat, yudo atau kesenian bela diri lainya. Menurut Bah Emed (salah satu pupuhu dari kelompok kesenian Benjang Mekar Harapan di Ujung Berung), Menuturkan bahwa bentuk seni Benjang Gelut yang dikenal masyarakat saat ini, baru ada sekitar tahun 1926. Sebelumnya bentuk seni Benjang berupa seredan, dogongan, atau panciran.

 

 

Foto 3.3: Seni Gulat Tradisional Benjang

Sumber: Sumiarto, 2006: 53.

 

 Pada awalnya, Benjang Gelut ini menjadi sarana atau arena para jawara dalam berduel dengan jawara lainya, Benjang Gelut dalam pemainanya memiliki aturan tertentu, dalam proses pagelaranya Benjang Gelut di diringi oleh musik khas dari daerah Sunda yang disertai oleh terompet atau lagu pembuka seperti lagu Kidung Pangjajap, Kidung Siliwangi dan Kembang Gadung. Sebelum memulai Benjang Gelut, biasanya para peserta diharuskan melakukan tarian terlebih dahulu dengan diiringi oleh terompet dan lagu pangjajap seperti yang di tulis sebelumnya. Tarian yang dilakukan oleh para peserta Benjang Gelut sebelum memulai pagelaran ini biasa disebut ngigel oleh masyarakat Ujung Berung (Sumiarto, 2006: 59).

Dalam budaya Sunda dikenal ungkapan, “Meunang ngabogaan lawan, tapi teu meunang ngabogaan musuh” (boleh mempunyai lawan, tapi tidak boleh mempunyai musuh). Itu mengisyaratkan pada seorang agar membuat lawan menjadi kawan, bukan menjadikanya sebagai musuh, sikap itu telah terpateri sejak dulu pada setiap diri jawara Benjang, sehingga mereka berprinsip bukan untuk mengalahkan lawan, tapi lebih ke soal menguasainya.

Foto 3.4: Paguyuban Seni Gulat Tradisional Benjang

Sumber: Sumiarto, 2006: 39.

 

Upaya mengalahkan lawan adalah upaya pengamatan yang hanya terbatas dan terjadi dalam lingkungan arena pertandingan saja. Sedangkan untuk menguasai lawan terjadi sebelum dan sesudah selesai di arena pertandingan. Mengalahkan lawan hanya berdasarkan kepada aspek menganalisa ketahanan fisik lawan, tetapi menguasai lawan termasuk juga penganalisaan terhadap aspek psikis lawan, karakter, tingkah laku, serta kebiasaan lawan saat sebelum dan sesudah pertandingan di arena. Untuk menguasai lawan memang pekerjaan yang sulit, karena itu kemampuan untuk menguasai lawan umumnya dimiliki oleh nonoman Benjang yang sudah moyan (terkenal), dalam istilah Sunda disebut “legok tapak ganteng kadek”.

Foto 3.5: Layout Tempat Pagelaran Benjang

Sumber: Sumiarto, 2006: 61.

 

Seorang pebenjang akan mengalami kesulitan untuk mengamati gerak-gerik lawanya bila mereka bertemu dalam suatu arena pertandingan. Itu dikarenakan mereka saling merapatkan tubuh sambil melakukan gerakan-gerakan cepat dalam upaya menjatuhkan tubuh lawan. Gerakan-gerakan itu umumnya mirip olahraga gulat, oleh karena itu seni Benjang awal ini dinamakan Benjang Gelut (Sumiarto, 2006: 61).

            Pada awal perkembanganya, penamaan seni Benjang tanpa menggunakan embel-embel “gelut” di belakangnya sebelum seni ini berkembang ke bentuk heleran dan Topeng Benjang. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bah Emed, Bah Emed menuturkan bahwa bentuk seni Benjang Gelut yang dikenal masyarakat saat ini, baru ada sekitar tahun 1926. Sebelumnya bentuk seni Benjang khususnya di Kampung Ciwaru berupa seredan, dogongan, atau panceran/panciran[4].

A.    Aspek-aspek Benjang Gelut

Benjang Gulat memiliki beberapa aspek yang membangun kesenian ini menjadi lebih bernilai, diantara aspek aspek yang ada dalam benjang gulat adalah;

1.      Aspek Pembinaan mental dan spriritual

2.      Aspek Beladiri

3.      Aspek Olahraga

4.      Aspek Magis

B.     Teknik dalam Benjang Gelut

            Seperti halnya dengan kesenian dan bentuk beladiri lainya, Benjang Gelut juga memiliki teknik-teknik khusus yang menjadi ciri khas dari Benjang Gelut ini maupun teknik yang diadopsi dari teknik lain, diantara beberapa teknik itu adalah;

1.      Teknik Tangkeupan

            Gerakan awal pe-benjang untuk mencari kesempatan melakukan gerakan berikutnya dalam upaya menjatuhkan lawan. Gerak tangkepan berupa gerak menangkap bagian atas tubuh lawan (Sumiarto, 2006: 91).

 

 

2.      Teknik Beulit

            Gerakan ini berupa upaya membelitkan kaki pe-benjang kepada lawanya. Namun dalam keadaan terdesak defensive ini bisa menjadi gerakan antisipasi agar lawan tidak bisa menjatuhkan pe-benjang dengan mudah. Teknik belit memiliki tiga variasi gerakan, (a) Belit Jero, posisi badan saling berhadapan. Kaki pe-benjang masuk kedalam diantara kaki lawan. (b) Beulit Luar, posisi tubuh pe-benjang berada disamping tubuh lawan. Gerakan ini merupakan upaya untuk membanting tubuh. (c) Beulit Bokong/Teknik Dongkelan, teknik ini dilakukan untuk usaha menjatuhkan lawan dengan mengunci bagian leher dan kaki untuk mendongkel kuda-kuda lawan.

3.      Teknik Hapsay/Gebot

            Teknik pada gerakan ini membanting tubuh lawan ke depan dengan mengambil bagian kepala lawan. Gerakan ini dengan cepat pada saat lawan sedang lengah.

4.      Teknik Engkel Mati

            Pada teknik ini tangan kanan kita mengunci tangan kiri lawan sambal menekan kepalanya hingga berada di bagian bawah tubuh kita. Tangan kiri kita memegangi tangan kanan lawan agar tidak aktif.

5.      Teknik Angkat Cangkeng

            Gerakan ini dilakukan untuk membanting tubuh lawan, pada posisi seperti ini, tubuh lawan yang terangkat dengan memeluk bagian pinggang lawan ditahan oleh pinggang dan badan kita, dengan maksud agar tenaga yang dikeluarkan saat melakukan gerakan bantingan cukup maksimal.

6.      Teknik Koncian

            Teknik ini merupakan gerak kuncian untuk membuat lawan tidak berdaya, gerakan dilakukan saat posisi tubuh saling berhadapan. Kedua tangan kita merangkul lengan lawan lalu menariknya melewati badan kita hingga kea rah perut. Dalam melakukan gerakan ini diusahakan kedua tangan kita mencengkram lengan lawan dengan kuat.

7.      Teknik Dengkek

            Saat melakukan gerakan dengkek, posisi leher lawan berada pada ketiak sebelah kanan atau kiri. Perhatikan kedua lengan yang aktif. Karena pada saat seperti itu tergantung kegesitan dan keuletan. Kelengahan sedikit saja bisa dimanfaatkan lawan untuk mengembalikan keadaaan.

C.     Unsur Benjang Gelut

            Untuk meggelar pertunjukan Benjang Gelut, penting untuk memperhatikan beberapa unsur yang ada dalam benjang;

1.      Arena Pertandingan

Bentuk awal dari arena Benjang Gelut adalah melingkar di atas lapang atau halaman rumah yang tidak berbatas antara penonton dengan pemain. Memasuki taun 2002, arena pertandingan berkembang ke bentuk panggung empat persegi panjang dengan alas matras gulat dan bagian sisi ring dipasang semacam ring tinju. Semua itu dilakukan dengan alasan keamanan sehingga pemain aman dari penonton yang biasanya suka mendekati arena seiring berjalanya benjang gulat di arena.

 

2.      Waditra dan Nayaga

            Waditra (alat musik/Instrument terdiri dari; kendang, kemprang-kempring, kecrek, dan terompet yang kemudian digabungkan dengan suara bedug. Waditra dan nayaga memiliki peran penting dalam proses pagelaran benjang gulat ini.

3.      Wasit

            Wasit berfungsi sebagai pengatur jalanya pertandingan dan dipilih secara demokrasi atas persetujuan bersama, dibeberapa daerah wasit juga bisa langsung dihadirkan oleh orang yang telah berpengalaman. Semua itu dilakukan untuk menghindarkan kesalahpaman antar pe-benjang.

4.      Busana

Busana yang digunakan wasit pe-benjang dan panayaga adalah kampret dan celana pangsi dengan penutup kepala iket atau totopong. Warna busana untuk wasit hitam sedang untuk panayaga disesuaikan dengan kesepakatan grup nya, sedangkan untuk pe-benjang mereka melepaskan bajunya ketika hendak melakukan Benjang Gelut.

5.      Hakim

            Yang menarik pada pertandingan Benjang Gelut adalah besarnya keterlibatan penonton untuk ikut memberikan penilaian bila terlihat adanya kecurangan pada suatu pertandingan. Ini adalah sebuah nilai moral dimana penilaian terhadap sesuatu dikembalikan atas dasar kekeluargaan.

D.    Struktur (Urutan Penyajian)

            Sebagai sebuah olahraga/kompetisi, seni benjang gulat memiliki beberapa cara atau aturan yaitu:

1.      Tatabeuhan/Musik Pembuka

            Pertunjukan Benjang Gelut diawali dengan tatabeuhan selama hampir setengah jam, musik ini juga menjadi semacam undangan kepada warga untuk mendatangi arena Benjang Gelut.

2.      Sambutan

            Protokol berkenan membuka acara, yang intinya berupa penyampaian tujuan diadakanyapagelaran dan mengiangatkan pada para pe-benjang untuk melakukan Benjang Gelut tanpa kecurangan.

3.      Pemanasan

            Pada pemanasan ini music kembali ditabuh dan pe-benjang yang akan berlaka memasuki area sambil melakukan sedikit tarian (ngigel)

4.      Saling Naksir

            Naksir adalah upaya seorang pe-benjang untuk mengukur kekuatan fisik calon lawan. Setelah merasa siap, para pe-benjang bisa mulai meusek.

5.      Meusek

            Istilah meusek/peusek artinya mengupas, pada tahapan ini pe-benjang membuka baju dan siap memulai Benjang Gelut yang di damping oleh wasit.

6.      Akhir

            Sebelum ditutup, kedua pe-benjang melakukan jabat tangan dan pelukan sebagai bentuk persaudaraan dan tidak ada rasa dendam diantra para pe-benjang.

 

 

7.      Penutup

            Pertunjukan Benjang Gelut ditutup oleh protokol yang sebelumnya membuka acara Benjang Gelut, sambil berjalan pulang biasanya sambil diiringi oleh musik Benjang.

 

3.1.2 Benjang Helaran

Benjang Helaran adalah kesenian Benjang yang berbentuk arak-arakan yang biasanya untuk menyertai anak yang dikhitan (sunat) agar dapat menghibur anak yang telah di sunat serta agar anak itu dapat merasa terhibur dengan arak-arakan yang dilakukan oleh kesenian Benjang. Benjang Helaran biasanya mengarak anak-anak yang disunat dengan “Rarajawalian” miniatur burung Rajawali yang dipikul oleh beberapa orang, namun pada perkembanganya beberapa kelompok Benjang yang beraliran Helaran ini mengarak anak-anak menggunakan beberapa kuda. Selain mengiring anak-anak menggunakan kuda, dalam Benjang Helaran ini juga terdapat kuda lumping dan bangbarongan yang diiringi oleh seorang Malim[5] (Observasi[6] 15 November 2017)

 

 

 

 

Foto 3.6: Pagelaran Benjang Helaran 2017

Sumber: Dokumentasi Penulis, Tahun 2017

 

Benjang Helaran biasanya berangkat dari rumah anak yang disunat kemudian berkeliling ke beberapa daerah disekitar dan kembali menuju tempat awal pada siang hari menuju sore. Setelah pagelaran Benjang Helaran yang arak-arakan ke beberapa tempat biasanya di teruskan dengan pagelaran Benjang Topeng (Observasi 14 November 2017)

            Di antara seni Benjang lainya, boleh dikatakan seni Benjang Helaran lah yang saat ini menjadi primadona bagi masyarakat Ujung Berung, bahkan bagi sebagian masyarakat Ujung Berung, ketika menanyakan kata Benjang, maka mereka akan menggeneralisir bahwa Benjang yang ada adalah Benjang Helaran. Hal ini tidak terlepas dari semakin sedikitnya pagelaran Benjang Gelut dan Topeng Benjang yang secara langsung berimplikasi pada Benjang yang dikenal masyarakat Ujung Berung saat ini adalah Benjang Helaran.

Foto 3.7: Benjang Helaran

Sumber: Sumiarto, 2006: 45.

 

            Sama halnya dengan Benjang Gelut, sulit untuk mendeteksi secara pasti kapan Benjang Helaran ini mulai lahir dan populer karena tidak adanya sumber tertulis sebagai bahan rujukan. Menurut Bah Didi[7], pada tahun 1972 seni Benjang semakin berkurang peminatnya. Oleh karena itu dilakukanlah upaya untuk melestarikan Benjang dengan cara melakukan pembaruan dalam Benjang, salah satunya dengan Benjang Helaran (arak-arakan) dan Topeng Benjang[8].

            Dalam Pertunjukanya Seni Benjang Helaran juga memiliki sistematika penyajian yang utuh dari awal hingga akhir kemudian ada juga unsur-unsur yang mejadi Instrument dari Benjang Helaran ini.

A.    Struktur Penyajian

a)      Bubuka

            Tatabeuhan atau bubuka menjadi awal dari akan dimulai nya seni benjang heleran ini, diawali oleh suara tarebangan, maka seni Benjang Helaran ini dimulai, tanpa menabuh waditra atau bedug.

1.      Tatabeuhan

            Sama dengan Benjang Gelut, tatabeuhan ini menggunakan waditra yang ditambah oleh bedug dan panayaga.

2.      Nyamat

            Sulit untuk menjelaskan maksud dari kata nyamat, karena hal ini agak sedikit di luar batas kerasionalan manusia, tapi secara sederhana proses nyamat ini adalah proses memasukan roh leluhur kepada pemain Benjang bagi mereka yang mempercayainya.

3.      Helaran (arak-arakan)

            Proses arak-arakan ini biasanya dilakukan kebeberapa tempat di sekitar lokasi diadakanya benjang heleran, biasanya arak-arakan dilakukan dari menjelang siang hingga menjelang sore.

b)      Penutup (Dijadikeun)

            Maksud kata dijadikeun adalah bagian dari klimaks Benjang, salah satu bagian paling ditunggu oleh penonton, ketika pemain Benjang melakukan atraksi-atraksi.

 

B.     Unsur Benjang Helaran

1.      Bangbarongan

            Bangbarongan adalah ikon utama dari Benjang Helaran, bangbarongan terbuat dari kayu dan dibawahnya menggunakan karung goni, dalam proses pagelaran Benjang Helaran, bangbarongan bersama para pemain kuda lumping menari nari diiringi waditra.

Foto 3.8: Kuda Lumping dalam Pertunjukan Benjang Helaran

Sumber: Sumiarto, 2006: 47.

 

2.      Malim

            Malim adalah orang yang dituakan, malim juga yang nantinya akan mengontrol para pemain kuda lumping dan orang yang menggunakan bangbarongan, di sepanjang jalan ketika melakukan arak arakan malim memimpin kuda lumping dan bangbarongan dalam melakukan gerakan.

 

 

 

Foto 3.9: Busana Malim Benjang

Sumber: Sumiarto, 2006: 81.

 

3.      Babadudan

            Babadutan adalah badut dengan wajah seram sebagai pengiring atau penambah variasi dari kemeriahan helerean atau arak-arakan Benjang.

Foto 3.10: Busana Babadudan Benjang

Sumber: Sumiarto, 2006: 67.

 

 

4.      Waditra

Waditra adalah alat musik pengiring dari Benjang, ada beberapa jenis alat musik yang menjadi waditra.

 

a.       Kendang

b.      Kecrek

c.       Terebang

d.      Tarompet

e.       Bedug

5.      Kuda lumping

            Kuda lumping yang digunakan oleh Benjang hampir sama dengan kuda lumping yang dilakukan pada kesenian lain, seperti kesenian Kuda Renggong di Sumedang atau Berokan di Indramayu.

 

3.1.3 Topeng Benjang

            Topeng Benjang adalah sebuah produk seni tari, karenaya bisa disebut juga Tari Topeng Benjang. Topeng Benjang adalah salah satu bentuk kesenian tari tradisional memakai Topeng yang diiringi oleh waditra, seni ini merupakan hasil perkembangan dari seni gulat tradisional Benjang (Sumiarto, 2006: 175).

            Menurut Bah Didi “Pada tahun 1972 kelompok seni “Kandaga Kencana”, yang dipimpin oleh Yoyoy Yohana, mempunyai tujuan melestarikan Topeng Benjang. Untuk itu mereka mencari pemain waditra kendangan, juga pewaris serta penerus Benjang Al Wasim, yang dianggap sebagai pelopor seni tersebut. Pilihan pun jatuh pada Bah Didi. Lewat kegiatan kelompok seni “Kendaga Kencana” ini Bah Didi bisa memperkenalkan seni Tari Topeng Benjang ke tingkat nasional. Namun sayang kegiatan ini akhirnya terhenti menjelang tahun 1980-an seiring dengan makin tidak aktifnya kelompok tersebut”.

Foto 3.11: Topeng Benjang

Sumber: Sumiarto, 2006: 128.

 

            Apa yang dikatakan oleh Bah Didi tersebut memberi penjelasan bahwa Topeng Benjang lahir pada sekitar awal tahun 1972 dengan kelompok seni Kandaga Kencana, Topeng Benjang merupakan bentuk modifikasi dari bentuk Benjang Gelut, hal ini untuk membuat kesenian Benjang lebih memiliki daya tari di masyarakat dan dan eksistensi Benjang tidak ditelan oleh zaman.

 

3.2. Komodifikasi Benjang

                  Benjang mengalami dinamika perkembangan yang sangat menarik untuk dipahami secara lebih mendalam. Kesenian Benjang sebagai representasi kebudayaan masyarakat Sunda di wilayah Ujung Berung di tuntut untuk dapat memberi variasi dan transformasi pertunjukan untuk tetap mempertahankan dan menjaga Benjang ini tetap dikenal dan lestari di kalangan masyarakat itu sendiri. Pada perkembanganya Benjang melakukan akulturasi dengan kesenian-kesenian kontemporer sehingga dalam beberapa kelompok, Benjang ini cenderung hanya sekedar menjadi suatu pentas pertunjukan, bukan lagi sebagai sarana pelestarian kaerifan lokal dan mengedepankan esensi substansial dari kesenian Benjang itu sendiri.

Berdasarkan hasil Observasi dilapangan[9] Beragam interpretasi yang muncul dilatar belakangi oleh pemaknaan terhadap konsepsi yang terkandung pada pesan yang disampaikan dari rangkaian pertunjukan seni yang dipentaskan. Konstruksi konsep kesenian Sunda menjadi kesenian yang lebih indah ditampilkan sebagai seni pertunjukan kontemporer dan menarik perhatian perhatian masyarakat untuk disaksikan tentu menjadi sesuatu yang wajar dalam konteks pelestarian budaya, karena proses terlestarikanya suatu budaya tradisional juga membutuhkan eksistensi dan popularitas dari masyarakat sekitarnya.

Perkembangan Benjang ini menjadi sesuatu yang rancu ketika tidak ada parameter khusus yang menunjukan batasan perubahan dari konsep kesenian Benjang itu sendiri, ketika para pewaris kesenian ini merubah sebagian besar konsep kesenian dan beberapa diantaranya adalah konsep-konsep yang menurut saya adalah konsep dasar serta inti dari segala pertunjukan yang dipertontonkan.

Dalam konteks waktu dewasa ini, kesenian Benjang semakin terkikis bentuk makna esensi substansialnya karena perubahan yang dilakukan terlalu mengedepankan eksistensi dan daya tarik sebagai sebuah seni pertunujukan bukan suatu idealisme suatu kelompok masyarakat dalam mempertahankan kearifan lokal yang tercermin dalam kesenian Sunda sebagai representasi dari kelompok masyarakat Sunda yang ada di wilayah Ujung Berung tersebut.

Akhirnya Benjang mengalami komodifikasi, Benjang yang sebenarrnya bukan prodak untuk dijual belikan terlahir menjadi suatu komoditas baru yang diperjualbelikan untuk kepentingan pariwisata.

            Jika bertanya kepada masyarakat Ujung Berung tentang Benjang, biasanya kebanyakan masyarakat Ujung Berung akan lansung menunjukan kepada seni Benjang Helaran, hal ini disebabkan oleh semakin jarangnya pagelaran Benjang Gelut dan terus direkonstruksinya Benjang. Hal itu lambat laun membuat identitas Benjang bergeser, Benjang yang dulunya merupakan prodak budaya dengan segala kearifan lokalnya kini menjadi kesenian arak-arakan yang ditujukan untuk memuaskan kebutuhan hiburan massa.

Komodifikasi Benjang terjadi karena hasil dari perkembangan suatu industri budaya. Dimana produksi benda budaya (musik dan film) pada zaman pra-industri diproduksi secara otonom/murni, tidak ada campur tangan industri dengan segala sistem pasar dalam proses produksinya. Namun dalam era globalisasi dengan sistem kapitalisme memunculkan ledakan kebudayaan disegala aspek kehidupan, sehingga memunculkan kebutuhan massa. Dalam hal ini, sebuah industri telah memproduksi berbagai artefak kebudayaan yang seolah telah menjadi kebutuhan massa dan menjadi faktor penentu dalam proses produksinya, sehingga benda budaya yang sebelumnya dipenuhi dengan nilainilai tinggi, otentik, dan kebenaran, oleh industri budaya diproduksi secara massal menjadi komoditas yang penuh dengan perhitungan laba (profit). Benjang termasuk kepada salah satu prodak budaya yang diproduksi untuk kepentingan masa terhadap estetika, oleh karena itu di wilayah Ujung Berung sekarang, lebih sering di pagelarkan Benjang Helaran dibanding Benjang Gelut sebagai bentuk asli Benjang, karena Benjang Helaran lebih diminati dan lebih memiliki daya taraik bagi masyarakat.

Berdasarkan Observasi Penulis di lapangan ditemukan fakta bahwa dewasa ini pemerintah telah memiliki kemampuan untuk menghasilkan industri budaya yaitu budaya yang sudah mengalami komodifikasi karena produk budaya yang dihasilkan pertama, tidak otentik dimana kebudayaan yang diproduksi secara otonom/murni tidak lagi dihasilkan oleh rakyat atau masyarakat yang memilikinya, akan tetapi ada campur tangan industri dengan segala sistem pasar dalam proses produksinya. Benda budaya yang dipenuhi dengan nilai-nilai tinggi, otentik dan kebenaran telah mengalami pergeseran makna, diproduksi secara massal berdasarkan selera pasar. Kedua, manipulatif dimana kebudayaan yang diproduksi oleh industri budaya dengan tujuan agar dibeli di pasar, bukan lagi pada daya kreativitas sang kreator sehingga telah menghasilkan kebudayaan semu/palsu. Ketiga, terstandarisasi dimana, adanya bentuk penyeragaman yang terjadi dalam mekanisme industri budaya. Salah satu bentuk campur tangan pemerintah dalam proses produksi komodifikasi ini adalah dengan diadakanya Festival Ujung Berung yang menghadirkan beragam kebudayaan tradisional di Ujung Berung yang pertama kali digelar pada Agustus tahun 2005 hingga saat ini, secara umum acara ini bukan untuk menghadirkan bentuk asli dari beragam kebudayaan yang ada di Ujung Berung , acara ini lebih menitikberatkan kepada ajang promosi budaya sebagai bagian dari pariwisata Ujung Berung untuk memberi daya Tarik kepada turis, baik asing ataupun lokal untuk datang ke Ujung Berung.  Maka proses komodifikasi Benjang terjadi karena dua faktor besar, pertama adalah kebutuhan eksistensi untuk tetap mempertahankan Benjang di tengah deras nya arus budaya lain yang datang dan kedua sebagai sarana memenuhuhi hasrat kebutuhan estetika massa yang dibalut semu dalam pariwisata budaya.

 

3.2.1 Faktor Komodifikasi Benjang

Komodifikasi Benjang terjadi karena pasar dalam hal ini masyarakat cenderung memperlakukan Benjang sebagai suatu kesenian yang berorientasi sebagai tontonan yang dipandang indah untuk dinikmati, bukan lagi sebagai sarana dalam menjaga kearifan lokal beserta segala nilai-nilai moral yang terkandung didalamnya, diantara beberapa faktor penyebab komodifikasi Benjang adalah sebagai berikut:

Pertama Arus globalisasi yang ditandai dengan terjadinya peningkatan arus mobilitas dan revolusi teknologi informasi dan transportasi yang menyebabkan orang dapat dengan mudah memperoleh informasidan dapat berpindah dari satu negara ke negara lainnya. Kemudahan arus perpindahan manusia tersebutlah yang dimanfaatkan oleh pelaku komodifikasi budaya dan wisata agar pendapatan darisektor industri pariwisata meningkat. Dengan banyaknya usaha pariwisata yang ada hal ini menimbulkan persaingan diantara para pengusaha dalam bidang pariwisata yang menuntut merekauntuk berinovasi dalam kemasan wisata yang mereka sediakan.

Kedua, kebutuhan pariwisata global membuat pemerintah promosi pariwisata, baik pariwisata alam maupun pariwisata budaya, bagi turis domestik maupun mancanegara semakin gencar. Promosi pariwisata budaya tersebut mengharuskan budaya tradisional (lokal) masyarakat Indonesia dikembangkan dan dikemas secara apik dan lebih komersial agar menarik minat parawisatawan. Praktik komersialisasi budaya yang merupakan bagian dari praktik-praktik budaya kapitalisme dan konsumerisme berakibat pada terjadinya komodifikasi budaya tradisional Indonesia

Ketiga, Kemajemukan bangsa Indonesia di bangun dari keberagaman budaya yang ada di Indonesia, masing masing budaya yang ada di Indonesia pun memiliki keberagaman lain beserta dengan kearifan lokal nya. keberagaman budaya inilah yang sebenarnya membuat Indonesia terlihat semakin cantik dimata bangsa lain dan terlihat mempesona

Ketika banyak turis asing dating ke Indonesia, maka di buat lah komodifikasi budaya untuk memenuhi kebutuhan pasar pariwisata, salah satu objek yang terkena dampak komodifikasi untuk kepentingan pariwisata adalah kebudayaan dan kesenian lokal, karena berangkat dari kemajemukan Indonesia dalam aspek budaya yang memukau dan menarik simpati warga negara lain.

Keempat, Perkembangan pariwisata di tengah persaingan untuk mendatangkan wisatawan ke Indonesia khususnya ke daerah Ujung Berung sehingga secara tidak langsung masyarakat Ujung Berung mengadopsi kebudayaan barat. Dengan terimitasinya budaya barat dapat mempengaruhi cara berfikir dan tingkah laku masyarakat Ujung Berung yang dulunya masyarakat Ujung Berung lebih mengedepankan nilai-nilai sosial-kekerabatan, kini menjadi individual, konsumtif dan materialistis.

 

3.2.2 Fungsi Komodifikasi

Fungsi dari komodifikasi budaya khususnya komodifikasi yang terjadi pada kesenian Benjang di Ujung Berung, secara umum mengacu pada setidaknya dua hal besar. Pertama, adalah untuk keberlangsungan dan tetap lestarinya kesenian Benjang di tempat asalnya agar generasi muda di Ujung Berung akan tetap mengenal Benjang sebagai budaya asli dari Ujung Berung agar Benjang tidak terhapus oleh kerasnya arus globalisasi dan disintegrasi budaya. Kedua, fungsi dari komodifikasi yang kedua berkaitan erat dengan kepentingan ekonomi dan pariwisata. Ketika budaya dikomodifikasi, khususnya kesenian Benjang maka akan membuat sektor pariwisata semakain variatif dan semakin mempesona dalam memikat turis, dalam proses memikat turis inilah terjadi perkembangan ekonomi yang cukup signifikan, ketika Ujung Berung berubah menjadi destinasi wisata maka akan membuka banyak pekerjaan baru, mulai dari warung-warung kecil pinggir jalan sampai rumah makan untuk memenuhi kebutuhan makan para turis sampai dengan berbagai penginapan yang di sediakan untuk turis yang berasal dari daerah jauh, ketika komodifikasi dilakukan maka secara ekonomi masyarakat Ujung Berung sedikit banyak akan terbantu.

 

3.2.3 Festival Ujung Berung Sebagai Bentuk Komodifikasi

            Pada tahun 2005 BKMPK Kota Bandung dengan kepentingan pariwisata menginisiasi sebuah kegitatan budaya yang di bungkus secara pariwisata (Festival Budaya Ujung Berung). Untuk menjaga eksisitensi Benjang dan memperkenalkan kembali Benjang, maka Benjang di ikut sertakan dalam acara ini karena pengurus internal PBI belum mampu mengadakan acara Benjang secara independen dan meskipun notabene nya acara ini adalah acara yang berorintasi pada pariwisata dan seni Benjang yang di pertunjukan pun bukan seni Benjang asli yaitu seni Benjang Gelut. Benjang yang di tampilkan dalam acara itu adalah Benjang Helaran karena pasar dari acara tersebut lebih menyukai Benjang Helaran yang di anggap menghibur (wawancara dengan Agus Nurrohman, 63 tahun 18 November 2017, di Sekertariat Paguyuban Benjang, Ujung Berung)

            Pada Tahun 2013 Paguyuban Benjang mendapat bantuan dana dari pemerintah, dana itu kemudian digunakan untuk mempublikasikan kembali bentuk seni Benjang yang asli dalam bingkai Roadshow Benjang yang dilakukan ke beberapa kota yang diantaranya adalah Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Pangandaran, Bali dan beberapa kota lainya. Acara ini cukup berhasil dalam mempublikasikan kembali bentuk seni Bejang yang asli Benjang Gelut.

            Pada tahun 2015 karena PBI telah memiliki Stuktur dan kegatan yang jelas dalam hal pelestarian budaya, PBI disarankan untuk secara resmi mendaftarkan diri ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) untuk kepentingan legalitas dan mendapatkan pengakukan dari Kemenkumham.

            Atas dasar dari Kemenkumham, untuk alasan nasionalisasi Benjang maka PBI yang asalnya Paguyuban Benjang Indonesia kini dirubah menjadi Perkumpulan, meskipun secara makna sama tapi nama perkumpulan yang yang di anjurkan karena dalam kamus Indonesia dan istilah Kemenkumham tidak mengenal istilah paguyuban. Sejak terjadi perubahan PBI menjadi Perkumpulan Benjang Indnesia yang bersekertariat di wilayah Alun-alun Ujung Berung Samping Mesjid Agung Ujung Berung (wawancara dengan Agus Nurrohman, 63 tahun 18 November 2017, di Sekertariat Paguyuban Benjang, Ujung Berung).

Festival Ujung Berung mulai diadakan pada tahun 2005, tujuan utama dari diadakanya festival ini adalah sebagai sarana publikasi potensi budaya yang ada di wilayah Kecamatan Ujung Berung. Dalam acara ini ditampilkan beragam kesenian lokal yang ada di wilayah Ujung Berung seperti Seni Reak, Kuda Renggong, Jaipongan, Wayang, Pencak Silat, Rampak Kendang, termasuk Benjang di dalamnya. Kegiatan ini merupakan salah satu bentuk dan contoh kongkrit komodifikasi budaya atau lebih khusus komodifikasi Benjang karena pada intinya kegiatan Festival Ujung Berung ini berkaitan erat dengan kepentingan pariwisata terlebih panitia pelaksana dari acara ini adalah BKPMK Kota Bandung. Ketika Pemerintah Kota Bandung membangun Ujung Berung menjadi salah satu destinasi wisata di Kota Bandung, maka ini menuntut Ujung Berung untuk terus memiliki variasi pariwisata untuk menarik wisatawan, salah satu bentuk varian daya tarik pariwisata itu adalah dimunculkanlah budaya-budaya lokal Ujung Berung yang di kemas dalam Festival Ujung Berung untuk terus memikat wisatawan datang ke Ujung Berung.

Sebagai bentuk lain dari komodifikasi Benjang, selain secara terpaksa harus mengikuti festival untuk mempertahankan eksistensi Benjang, Benjang yang ditampilkan dalam Festival Ujung Berung bukan Benjang asli yang notabene adalah Genjang Gelut. Menurut Agus Nurrohman (Sekertaris umum Paguyuban Benjang Indonesia Jawa Barat) “Sejak awal diadakanya festival Ujung Berung, Benjang belum pernah ditampilkan dengan wajah asli nya, (Benjang Gelut), Benjang yang di tampilkan adalah Benjang Helaran yang merupakan bentuk perubahan dari Benjang”.

Benjang Helaran yang di tampilkan adalah bentuk komodifikasi untuk memenuhi kebutuhan pasar, karena masyarakat lebih menyukai Benjang Helaran dan lebih diminati, oleh karena itu dalam setiap pagelaran Festival Ujung Berung, Benjang yang di tampilkan adalah Benjang Helaran, hal ini berimplikasi pada persepsi masyarakat terhadap Benjang itu sendiri, bahkan yang menjadi sedikit ironinya adalah ketika sebagian masyarakat Ujung Berung ditanya mengenai apa itu Benjang? sebagian besar masyarakat menjawab Benjang adalah kesenian Sunda arak-arakan khas Ujung Berung (Benjang Helaran). Hal ini terjadi karena dampak muka yang di tampilkan Benjang dalam Festival Ujung Berung.

 Kehadiran Festival Ujung Berung sebagai bagian dari komodifikasi budaya bagaikan dua sisi mata uang bagi Benjang. Disatu sisi kehadiranya menjadi ruang pelepas dahaga dan memberi kesempatan kepada Benjang untuk menjaga eksistensi dan menjaga agar Benjang tetatp dikenal, disisi yang berlawanan festival Benjang sedikit banyak berpengaruh pada persepsi masyarakat terhdap Benjang yang lambat laun dapat mengikis nilai-nilai moral dan kearifan lokal yang terkandung di dalam kesenian Benjang (wawancara dengan Agus Nurrohman, 63 tahun 18 November 2017, di Sekertariat Paguyuban Benjang, Ujung Berung).

 

3.2.4 Pengaruh Komodifikasi Benjang Bagi Masyarakat Ujung Berung

Sebagai suatu kesenian lokal di daerah, seperti halnya kesenian lain, Benjang memiliki nilai nilai kearifan lokal yang terkadung didalamnya, sebagian wilayah Ujung Berung yang masih memegang teguh tradisi Sunda serta melestarikan kesenian Benjang, misalnya di daerah Pasir Kunci, Ciporeat, Cinangka, Cilengkrang serta beberapa wilayah lainya memiliki keunikan yang layak untuk dipahami, mereka masih hidup dalam kesederhanaan, sebagian warganya masih menikmati hidup di rumah panggung, sebagian rumah lebih memilih menyimpan kamar mandi terpisah dengan rumah karena mereka menganggap tradisi yang diwariskan adalah membangun kamar mandi secara terpisah dengan rumah. Selain itu, tradisi gotong royong di wilayah-wilayah Ujung Berung yang masih melestarikan Benjang juga masih terpelihara, dalam hal pembangunan mesjid, pembangunan atau pelebaran jalan serta pembangunan beberapa fasilitas lainya, mereka masih melakukan gotong royong secara swadaya saling bahu-membahu dengan masyarakat lainya dalam membangun fasilitas umum (wawancara dengan Agus Nurrohman, 63 tahun 18 November 2017, di Sekertariat Paguyuban Benjang, Ujung Berung).

Selain beberapa kebiasan tersebut diatas, beberapa daerah di wilayah Ujung Berung yang masih melestarikan Benjang masih menyimpan nilai-nilai kearifan lokal, masyarakat disana benar-benar terbuka dan berperilaku baik terhadap tamu. Istilah “Orang Sunda mah Someah” ini benar benar akan terasa jika kita mengunjungi tempat-tempat yang masih melestarikan Benjang, upaya mereka dalam melestarikan Benjang merupakan representasi kehidupan mereka yang masih berusaha untuk melestarikan budaya-budaya yang diwariskan oleh para leluhur.

Beberapa penjelasan tersebut telah menjadi bukti shahih bahwa daerah-daerah yang masih melestarikan Benjang, merupakan wilayah-wilayah yang masih memegang teguh budaya para leluhur, ini menunjukan bahwa Benjang merupakan representasi dari kehidupan masyarakat Ujung Berung yang masih memegang teguh budaya para leluhur yang telah diwariskan kepada mereka. terlepas dari budaya Benjang yang di kontruksi terlalu ekstrem, kita tidak bisa sepenhnya menyalahkan mereka, karena beberapa diantara mereka memiliki tujuan yang berbeda, tidak semua orang yang melestarikan Benjang ini mutlak ingin melestarikan budaya Sunda, sebagian mereka lebih berfokus menjadikan benjang ini sebagai sarana tontonan yang berorientasi pada materi.

 

 

3.3 Pelestarian Benjang

3.3.1 Penerusan Tradisi

Sebagai seni tradisional yang telah lahir dan berkembang begitu lama di Indonesia, khususnya wilayah kecamatan Ujung Berung. Benjang mengalami dinamika perkembangan yang fluktuatif. Oleh karena itu beragam upaya terus dilakukan untuk terus melestarikan Benjang. Pada tahun 2005 BKMPK Kota Bandung dengan kepentingan pariwisata menginisiasi sebuah kegitatan budaya yang di bungkus secara pariwisata (Festival Budaya Ujung Berung) untuk menjaga eksisitensi dan memperkenalkan kembali Benjang.

            Dilaksanakanya Festival ini adalah salah satu bentuk dari upaya pelestarian Benjang di kecamatan Ujung Berung, selain dari pada mengikuti acara Festival Ujung Berung. Paguyuban Benjang Indonesia terus mensosialisasikan Benjang seperti melakukan workshop-workshop mengenai teknik permainan Benjang, cara penilaian, alat musik yang digunakan serta instrument-instrument lain yang mengiringi pagelaran Benjang.

            Pada Tahun 2013 Paguyuban Benjang mendapat bantuan dana dari pemerintah, dana itu kemudian digunakan untuk mempublikasikan kembali bentuk seni Benjang yang asli dalam bingkai Roadshow Benjang yang dilakukan ke beberapa kota yang diantaranya adalah Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Pangandaran, Bali dan beberapa kota lainya. Acara ini cukup berhasil dalam mempublikasikan kembali bentuk seni Bejang yang asli yaitu Benjang Gelut.

            Segala kegiatan tersebut menunjukan upaya dari para seniman Benjang untuk senantiasa menjaga eksistensi Benjang. Benjang yang merupakan kesenian yang lahir dari rahim kebudayaan asli Ujung Berung akan senantiasa diupayakan untuk dilestarikan karena Benjang bukan hanya berfungsi sebagai kesenian tradisional, lebih jauh Benjang menunjukan nilai-nilai moral dan segala kearifan lokal yang berkembang di wilayah Ujung Berung.

 

3.3.2 Perekrutan

            Saat ini di wilayah Ujung Berung setidaknya ada puluhan lingkung seni Benjang yang ada di Ujung Berung. Masing masing lingkung seni Benjang tersebut melakukan pelatihan benjang kepada para muridnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, pelatihan ini dilakukan sebagai upaya pelestarian kesenian Benjang.

            Berdasarkan hasil Observasi Dalam proses perekrutan anggota Benjang ini tidak dibatasi umur atau kedekatan secara wilayah maupun ikatan darah dari pada seniman Benjang sebelumnya. Proses perekrutan menjadi anggota Benjang terbuka bagi siapa saja yang berminat untuk menjadi anggota baik itu Benjang Gelut, Benjang Helaran maupun Topeng Benjang hanya saja karena sekarang kesenian Benjang Helaran yang masih sering di pertunjukan maka instrument-instrument Benjang Helaran yang sering di latihkan. Biasanya pada malam jumat menjelang acara atau pagelaran, lingkung seni melakukan pelatihan menabuh waditra. Hal ini di persiapkan untuk menghadapi pagelaran Benjang.

            Dalam proses perekrutan biasanya yang dipilih adalah orang-orang terdekat diwilayah mereka dan dianggap memiliki potensi, hal ini dilakukan untuk memudahkan proses pelatihan dan agar dalam pelaksanaan pagelaran Benjang tidak terjadi kecanggungan antara para pemain Benjang karena belum benar-benar saling mengenal.

 

3.3.3 Sanggar/Lingkung Seni

Benjang adalah salah satu kesenian tradisional asli Ujung Berung yang terus di pertahankan hingga saat ini. Salah satu cara dari upaya pelestarian Benjang ini adalah dengan membentuk lingkung seni Benjang. Di bentuknya lingkung seni Benjang tersebut ada yang merupakan permintaan dari pemerintah, namun ada juga yang memang secara sukarela membentuk lingkung seni Benjang sebagai bentuk kepedulian terhadap kesenian Benjang.

Sebenarnya sangat banyak lingkung seni Benjang yang di bentuk di sekitaran wilayah Ujung Berung. Berdasarkan data dari paguyuban Benjang setidaknya ada sekitar hampir tiga puluh lingkung seni Benjang. Berikut ini adalah daftar seni Benjang yang tersebar di wilayah Ujung Berung:

1.  Lingkung seni Benjang Al-Wasim

Alamat: Ds. Cipadung Cibiru Kecamatan Ujung Berung

2. Lingkung seni Benjang Ama Putra

Alamat: Kp. Panjalu, Pasir Jati Kecamatan Ujung Berung

3. Lingkung seni Benjang Aneka Warna

Alamat Ds Cisurupan Pasirluhur RT 01/01 Cilengkrang Kecamatan Ujung Berung

4. Lingkung seni Benjang Biru Muda

Alamat Kp. Cigending, Cigending Kecamatan Ujung Berung

5. Lingkung Seni Benjang Buhun Kencana

Alamat Kp. Ciwaru, Cilengkrang Kecamatan Ujung Berung

6. Lingkung Seni Benjang Cibiru Putra

Alamat Kp. Cibiru Hilir Kecamatan Cibiru

7. Lingkung Seni Benjang Garuda Mas

Alamat Kp. Ciguruwik Kecamatan Cibiru

8. Lingkung Seni Benjang Harapan Putra

Alamat Kp. Babakan Sumedang Cilengkrang Kecamatan Ujung Berung

9. Lingkung Seni Benjang Libot Muda

Alamat Kp. Ciwaru Cilengkrang Kecamatan Ujung Berung

10. Lingkung Seni Benjang Lugay Pusaka

Alamat Kp. Cihareugeum Jatiendah Kecamatan Ujung Berung

11. Lingkung Seni Benjang Mekar Budaya

Alamat Cipatat Cilengkrang Kecamatan Ujung Berung

12. Lingkung Seni Benjang Mekar Harapan

Alamat Jl. Cilengkrang Kp Cigagak Cilengkrang Ujung Berung

13. Lingkung Seni Benjang Pabega

Alamat Garung Cipadung Kecamatan Cibiru

14. Lingkung Seni Benjang Panca Warna

Alamat Kp. Karanganyar Pasir Jati Kecamatan Ujung Berung

15. Lingkung Seni Benjang Panjigata

Alamat Kp. Tanjakan Panjang Kecamatan Ujung Berung

16. Lingkung Seni Benjang Pustaka Wangi

Alamat Kp. Sekemanggung Jatiendah Kecamatan Ujung Berung

17. Lingkung Seni Benjang Pustaka Wangi 2

Alamat Kp. Ranca Melatiwangi Kecamatan Ujung Berung

18. Lingkung Seni Benjang Putra Babakan

Alamat Kp. Pasirangin Cilengkrang Kecamatan Ujung Berung

19. Lingkung Seni Benjang Putra Manglayang

Alamat Kp. Cigagak Cilengkrang Ujung Berung

20. Lingkung Seni Benjang Rajawali Putih

Alamat Kp. Sukagalih Kecamatan Ujung Berung

21. Lingkung Seni Benjang Saptari

Alamat Kp. Cihareugeum Jatiendah Kecamatan Ujung Berung

22. Lingkung Seni Benjang Sekar Pakuan

Alamat Kp. CIpanjalu Pasirjati Kecamatan Ujung Berung

23. Lingkung Seni Benjang Wargi Siliwangi

Kp. Cigupakan Ciporeat Kecamatan Ujung Berung

24. Lingkung Seni Benjang Chandra Kirana

Alamat Jl. Raya Ujung Berung Simpay Asih Pasir Endah Ujung Berung

25. Lingkung Seni Benjang Mekar Jaya

Alamat Kp. Ciporeat Kecamatan Ujung Berung

26. Lingkung Seni Benjang Mekar Kusumah

Alamat Sekedangdeur Pasanggrahan Ujung Berung

27. Lingkung Seni Benjang Tibelat Mitra Sejati

Alamat Kp. Jati Pasir Biru Kecamatan Cibiru



[1] Agus Nurrohman adalah seniman Benjang Ujung Berung yang saat ini tergabung ke dalam Paguyuban benjang Jawa Barat, dalam paguyuban ini Agus Nurrohman Menjabat sebagai Sekertaris umum, Sekertaris Umum Paguyuban Benjang ini menjadi salah satu element penting dari dokumentasi dan segala arsip yang dilakukan oleh Paguyuban Benjang tersebut.

[2] Bah Emed (1915-2002) adalah salah seorang narasumber/pupuhu (orang yang dituakan) tokoh Benjang yang tinggal di kampung Ciwaru. Semasa hidupnya beliau menjadi aktifis dan seniman Benjang yang senantiasa untuk terus melestarikan Benjang dan mewariskan Benjang kepada masyarakat sekitar wilayah Ciwaru khususnya anak cucu beliau yang masih tinggal di daerah Ciwaru. Beliau menuturkan bahwa “bentuk seni Benjang gulat yang dikenal masyarakat saat ini, baru ada sekitar tahun 1926. Sebelumnya bentuk seni Benjang khususnya di kampung Ciwaru berupa seredan, dogongan, atau panciran”. Seni panciran dimainkan oleh 2 hingga 4 orang yang mendorong dari segala arah dengan seorang pancer yang ada di tengahnya.

[3]  Wawancara Sumiarto dengan Bah Emed dalam Sumiarto 2006:  37.

[4] Wawancara A. Sumiarto Widjaya dengan Bah Sukria, dalam Sumiarto, 2006: 48. Bah Sukria bernama asli Suhadireja. Beliau adalah salah satu aktifis Benjang yang juga turut berjuang dalam Melestarikan Benjang Ujung Berung. Bah Sukria tinggal di Cigending, sekitar kampung Ciharegem. Beliau banyak bertutur mengenai perkembangan Benjang Ciharegem. Beliau diwawancarai oleh A. Sumiarto pada Desember 2005.

  

[5] Malim Adalah istilah yang di berikan oleh orang ujung berung kepada orang yang dituakan di kelompok kesenian benjang, Malim berperan sebagai pengatur dari pagelaran benjang, malim juga lah yang membuat para pelaku benjang yang menggunakan kuda lumping dan bangbanrongan.

[6] Observasi dilakukan pada acara Festival Ujung Berung ke-13 pada bulan November tahun 2017 di        Alun-alun Ujung Berung. Dalam acara ini dipertunjukan beragam kesenian yang ada dan berkembang di wilayah Ujung Berung termasuk Benjang sebagai salah satu kesenian Sunda asli yang lahir dari Rahim kebudayaan masyarakat Ujung Berung.

[7] Bah Didi adalah salah satu dari beberapa tokoh Benjang yang ada di ujung berung, bah Didi merupakan salah satu orang yang berjasa dalam mempertahankan Benjang di Ujung Berung

[8]  Wawancara Sumiarto Widjaya dengan Bah Didi, dalam Sumiarto, 2006: 60

 

[9] Observasi dilakukan kepada beberapa lingkung seni Benjang di Kecamatan Ujung Berung dan Masyarakat di sekitar lingkung seni Benjang tersebut.

Share on Google Plus

Penulis : satya adilaga

Mari membaca artikel lainnya dibawah ini
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 comments:

Post a Comment